Advertorial
Intisari-Online.com -Kehidupan di Jepang memang berbeda dan unik yang menyebabkan cerita di dalamnya sangat menarik untuk diulas.
Salah satunya tentang para "jouhatsu", atau orang-orang yang menghilang.
Jouhatsu dalam bahasa Jepang berarti "menguap", yang menggambarkan orang-orang menghilang begitu saja dan lepas dari keluarga, teman atau bahkan pasangan mereka.
Mereka yang menghilang dituntun pada stress akibat tidak punya penghasilan, atau kehidupan sosial yang terlalu menekan mereka.
Atau juga orang-orang tersebut menghilang karena muak dengan pekerjaan mereka yang kian menuntut.
Tentunya bagi orang-orang yang ditinggalkan, ada perasaan kecewa karena mereka diabaikan, dan mencari orang-orang yang hilang ini bisa begitu melelahkan.
"Saya terkejut," kata seorang perempuan yang tidak ingin disebutkan namanya. Putranya yang berusia 22 tahun hilang dan tidak pernah menghubunginya.
"Dia merasa gagal setelah dua kali berhenti dari pekerjaan. Dia pasti merasa sengsara dengan kegagalannya."
Wanita itu mengunjungi tempat tinggal anaknya, lalu memeriksa tempat itu dan menunggui anaknya di mobilnya berhari-hari sembari berharap anaknya kembali.
Namun putranya tidak pernah muncul.
Polisi tidak bisa membantu dan hanya bisa terlibat jika ada dugaan bunuh diri.
Namun jika tidak ada catatan yang ditinggalkan, polisi tidak akan bisa membantu.
"Saya mengerti bahwa mungkin saja ada penguntit. Informasi dapat disalahgunakan. Ini adalah hukum yang diperlukan, mungkin. Tapi penjahat dan penguntit disamakan dengan orang tua yang tidak bisa mencari anak mereka sendiri? Semuanya diperlakukan dengan cara yang sama karena perlindungan. Apa ini?" kata dia.
"Dengan undang-undang saat ini, tanpa uang, yang dapat saya lakukan hanyalah memeriksa jika sesosok mayat adalah putra saya. Itu satu-satunya yang bisa saya lakukan."
Ada perusahaan yang menyalurkan orang-orang yang menghilang tersebut, sebuah perusahaan 'pindahan malam' yang dijalankan oleh beberapa orang, memberi naungan bagi orang-orang yang menghilang itu dengan memberi tempat tinggal.
Para pendiri perusahaan 'pindahan malam' itu juga seorang jouhatsu, seperti Saita yang menghilang 18 tahun yang lalu akibat hubungan penuh kekerasan.
"Di satu sisi, saya masih orang hilang, sampai sekarang," kata dia.
"Saya punya berbagai jenis klien," kata Saita. "Ada orang yang lari dari kekerasan dalam rumah tangga yang serius, atau ego dan kepentingan pribadi. Saya tidak menilai. Saya tidak pernah mengatakan, 'Kasus Anda tidak cukup serius'. Setiap orang punya perjuangannya sendiri-sendiri. "
Mengutip Time, ada cerita mengenai seseorang bernama Norihiro yang dipecat dari pekerjaannya tapi terlalu malu untuk mengatakan pada keluarganya.
Setiap pagi, ia memakai pakaian kerja dan dasinya, berpamitan pada istrinya lalu berkendara ke arah tempatnya kerja, tapi tanpa ada tempat yang dituju ia hanya duduk di dalam mobilnya seharian, terkadang sampai malam untuk memberikan kesan ia habis minum-minum dengan koleganya, ritual kerja yang tidak terhindarkan.
Akhirnya karena tidak ada gaji yang masuk, Norihiro tidak mampu meneruskan kebohongannya, ia kemudian menghilang ke Sanya, lokasi yang sangat rahasia dan memalukan sampai lokasi itu dihapus dari peta Tokyo.
Sanya itu sendiri juga menyimpan banyak rahasia.
Sekilas, Sanya tampak seperti distrik Tokyo lainnya: rumah-rumah yang rapi, supermarket dan restoran cepat saji, kemudian di kejauhan tampak bangunan Tokyo Skytree yang mempesona.
Namun di dalamnya tidak semegah distrik Tokyo lain, ada pria tua dengan pakaian olahraga yang usang, dengan topi baseball, dan sandal plastik kaleng chu-hi alcopops sore hari, serta lusinan hostel tanpa nama mengiklankan kamar dengan tarif sangat murah.
Hal ini jadi petunjuk yang jelas mengenai Sanya.
Selama periode Edo (1603-1868), pekerja harian yang tidak mampu membayar sewa tetap di tempat lain di kota menggunakan penginapan murah di Sanya.
Setelah Perang, Sanya menjadi rumah bagi para warga desa yang tidak punya rumah karena bom atom AS.
Tenda-tenda militer, yang disumbangkan oleh pasukan Pendudukan, secara bertahap membuka jalan bagi asrama kayu.
Pada tahun 1953, sekitar 6.000 orang tinggal di 100 asrama; Pada puncaknya satu dekade kemudian, populasi pekerja harian telah mencapai 15.000 orang, tersebar di lebih dari 220 akomodasi.
Tetapi Anda tidak akan menemukan Sanya di peta modern mana pun.
Pada tahun 1966, pemerintah memerintahkan agar nama Sanya dihapus dari catatan resmi, dan sekarang dibagi menjadi dua distrik, Kiyokawa dan Zutsumi, dalam upaya untuk menyamarkan hubungannya dengan kemiskinan, alkoholisme, kekerasan, dan hiyatoi rodosha (pekerja harian).
Seperti komunitas lain di Jepang, Sanya merasakan dampak dari demografi tidak seimbang, sebagian besar dari kurang lebih 1500 mantan buruh yang hidup di sana pada tahun 60-an dan 70-an dengan jumlah kecil dari tahun 80-an dan 90-an.
Saat memasuki usia senja, penginapan yang dulunya dimiliki oleh pekerja manual yang kelelahan telah berubah menjadi rumah pensiun untuk orang-orang yang bertahan hidup dari tunjangan dan pensiunan yang sedikit.
Kini, pemerintah Tokyo berusaha mengubah citra Sanya dengan program-program menghancurkan bangunan lama untuk dibangun bangunan baru.
Namun mereka yang telah terlalu lama menetap di kota yang dulunya jadi tujuan orang menghilang itu menolak jika bangunan-bangunan lama itu dirubuhkan.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini