Intisari-Online.com - Tragedi G30S/PKI masih menjadi luka bagi bangsa Indonesia.
Bagaimana tidak, dalam tragedi G30S/PKI itu, 7 jenderal TNI diculik dan dibunuh dengan cara keji.
Salah satu orang yang merasakan akibat tragedi G30S adalah Sugiarto, putra ketiga Brigadir Jenderal Soepardjo.
Pada saat itu, Brigadir Jenderal Soepardjo merupakan salah satu petinggi militer yang terlibat Dewan Revolusi.
Dan dia juga dituduh berperan dalam peristiwa mengerikan itu.
Begini kisahnya dalam Majalah Intisari edisi September 2004 dengan judul artikel “Jalan Damai Anak-Anak Korban Konflik 1965” (Intisari, September 2004).
---
Pasca peristiwa G30S yang mengerikan, ejekan dan cemoohan adalah makanan sehari-hari bagi Sugiarto selama kurang lebih setahun.
Bahkan satu bekas luka di punggungnya menjadi kenang-kenangan yang tidak pernah dia lupakan.
Luka itu didapat Sugiarto saat melindungi adiknya dari amukan massa.
“Ah, tapi saya enggak mau cengeng cuma gara-gara itu,” kata Sugiarto yang enggan bercerita lebih lanjut.
Salah satu alasan Sugiarto tidak mau meratapi nasib adalah ibunya.
Ibunya, Triswati, selalu bersikap tabah menghadapi kenyataan ini.
Berkat ibunya, dia pun berusaha bertahan di tengah kesulitan yang terus menimpa keluarganya.
“Terima semua ini sebagai takdir,” begitu selalu pesan janda Soepardjo kepada anak-anaknya.
Sebagai istri tentara, Triswati sudah biasa hidup sendiri tanpa suami yang pergi bertugas.
Dari sinilah Sugiarto sebagai anak mengagumi kekuatan perempuan dibandingkan dengan lelaki.
Hidup Sugiarto sendiri sebenarnya tidak kalah sulit.
Dengan susah payah dia berhasil menyabet gelar dokter gigi. Ini terbentur Surat Keputusan (Instruksi) Menteri Dalam Negeri nomor 32 tahun (1981).
Bahkan peraturan ini masih berlaku sampai sekarang. Intinya peraturan itu melarang keluarga tahanan politik menjadi pegawai negeri.
Tapi lagi-lagi Sugiarto tidak mempersoalkannya.
Ada alasan mengapa Sugiarto enggan mengungkit masa lalu. Karena mereka yang marah atau benci sebenarnya tidak mengerti letak permasalahnnya.
Selain itu, masih ada orang-orang yang bersikap baik kepada keluarganya. Meski kedudukannya berseberangan.
Mereka adalah rekan-rekan ayahnya semasa di militer. Seperti Ibrahim Adjie, HR Dharsono, atau keluarga Ibnu Sutowo.
“Saat itu tidak yang berani dekat-dekat dengan keluarga tahanan politik."
"Takut dianggap berkomplot dan ujung-ujungnya diinterogasi,” kata Sugiarto yang berusia 15 tahun saat peristiwa G30S terjadi.
Beruntungnya rekan-rekan ayahnya tidak pernah meninggalkan dirinya. Termasuk Ibrahim Adjie, mantan Panglima Siliwangi.
Dia bahkan selalu menolong di saat kesulitan-kesulitan datang tiada henti.
Apalagi dia tahu, janda Soepardjo masih harus menghidupi 12 putra-putrinya.
Sanking dekatnya, dia bahkan menikahkan salah seorang putranya dengan salah seorang putri Soepardjo.
Karena sangat dekat, Sugiarto pun pernah bertanya kepada Ibrahim, yang dipanggilnya Papi.
“Pap, apa ayah saya bersalah?”.
Yang ditanya menggeleng.
“Tidak, dia seorang professional army. Dia hanya melaksanakan tugas,” kata Ibrahim tegas.
Sebuah jawaban yang benar-benar melegakan hati dan pikiran Sugiarto.
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR