Intisari-Online.com - Selama lebih dari 100 tahun, Palestina dan Israel telah berkonflik dan tak kunjung menemui titik temu.
Menilik ke belakang, setidaknya awal konflik Palestina dan Israel terjadi pasca Perang Dunia I.
Ketika itu, Inggris sebagai pemenang Perang Dunia I memberikan wilayah kepada bangsa Yahudi melalui Deklarasi Balfour (1917).
Dari peristiwa tersebut, bangsa Yahudi menganggap bahwa kawasan Palestina adalah tanah air mereka.
Sementara itu, masyarakat Islam Palestina memiliki pendirian tersendiri terkait permasalahan klaim wilayah.
Masyarakat Islam Palestina menganggap bahwa Inggris memaksakan pendirian negara Yahudi di kawasan Palestina yang bertentangan dengan keinginan mayoritas masyarakat Palestina.
Upaya penyelesaian telah terus menerus dilakukan. Seperti yang dilakukan pada 23 – 29 November 1947, dengan PBB mengadakan sidang terkait permasalahan tersebut.
Dari sidang ini, keluar sebuah resolusi yang berisi pembagian wilayah Palestina bagi Yahudi dan Muslim, namun ditolak oleh pihak Muslim karena mereka menuntut seluruh wilayah Palestina.
Perang antara masyarakat Muslim dan Yahudi di Palestina pun terjadi setelahnya pada tahun 1948.
Dalam perang tersebut, Yahudi-Israel mampu mengalahkan Islam-Palestina dan menggagalkan pendirian negara Palestina.
Pada tahun 1964, perjuangan Islam-Palestina kembali muncul dengan didirikannya Palestine Liberation Organization (PLO) yang bertujuan untuk mendirikan negara Palestina yang berdaulat melalui perang maupun diplomasi.
Perjuangan PLO dan Islam-Palestina mendapatkan hasil pada 15 November 1988 dengan proklamasi kemerdekaan Palestina. Proklamasi tersebut mendapat pengakuan dari 20 negara dunia, termasuk Indonesia.
Baca Juga: Coba Saja Makan Campuran Kunyit dan Madu, Inilah yang Akan Terjadi pada Tubuh!
Di sisi lain, Israel, Amerika Serikat, dan beberapa negara Barat menolak proklamasi kemerdekaan Palestina.
Konflik Palestina dan Israel pun terus berlanjut hingga saat ini.
Kapan dan bagaimana konflik keduanya akan berakhir menjadi pertanyaan yang sering dilontarkan.
Tetapi, Israel sendiri disebut tak pernah punya solusi dua negara dengan Palestina, lalu apa?
Baca Juga: Coba Saja Makan Campuran Kunyit dan Madu, Inilah yang Akan Terjadi pada Tubuh!
Melansir Middle East Monitor, oleh Nasim Ahmad, menurutnya dengan asumsi semua kebenaran melewati tiga tahap yang sama seperti kata filsuf Arthur Schopenhauer, kebenaran tentang pendudukan Israel segera memasuki tahap ketiga.
Schopenhauer mengatakan, "Semua kebenaran melewati tiga tahap. Pertama, ditertawakan. Kedua, ditentang dengan keras. Ketiga, diterima sebagai bukti dengan sendirinya."
Melihat tahap pendudukan Israel saat ini, disebut Ahmad, aman untuk menganggap bahwa kebenaran dan sifat realitasnya akan datang ke akhir tahap kedua.
Dengan demikian, akan memasuki tahap ketiga di mana praktik apartheid negara Zionis diterima dengan sendirinya.
Kondisi Israel dan Palestina, seperti mengutip pendapat filsuf terkenal Israel Yuval Noah Harari, disebutnya akan menuju solusi tiga kelas alih-alih solusi dua negara.
Pendapat Harari, menurut Ahmad, memperkuat pandangan 'optimis' tentang diterimanya praktik apartheid negara Zionis.
Harari berbicara tentang masa depan Israel dan "pengabaian" dari solusi dua negara.
"Jika bukan dua negara untuk dua bangsa, lalu apa sebenarnya visi alternatif Israel? Ketika kita membayangkan masa depan, apa sebenarnya yang kita lihat di sana?, tulisnya.
Baca Juga: Terkubur Ribuan Tahun, Mayat Grauballe Man Masih Utuh, Ini Kisah di Baliknya
"Israel beralih dari solusi dua negara ke solusi tiga kelas," disebut menunjukkan bahwa hanya ada satu negara antara Laut Mediterania dan Sungai Yordan.
Seperti apa solusi tiga kelas tersebut?
"Meskipun Harari tidak menyebutkan kata apartheid, dia menjelaskan bahwa ada 'tiga tipe orang' yang tinggal di wilayah yang dikuasai oleh Israel," tulis Ahmad.
"Yahudi, yang akan menikmati semua hak. Tipe A Arab, yang akan memiliki beberapa hak. Dan orang Arab Tipe B, yang hampir tidak memiliki hak."
Selain itu, Harari juga percaya bahwa dilihat dari pola pemungutan suara di negara itu, tampaknya sebagian besar orang Yahudi di Israel lebih suka tetap seperti kondisi ini selamanya.
Sementara itu, Dosen di Universitas Ibrani di Yerusalem yang diduduki berpendapat bahwa solusi dari tiga kelas bukanlah hal baru dan telah direncanakan dan dilaksanakan selama beberapa dekade dengan Israel tidak mau mengungkapkan niatnya kepada dunia.
"Bahkan hari ini, ketika perwakilan Israel memberikan pidato publik - katakanlah, di Majelis Umum PBB - mereka tidak akan berani berbicara secara terbuka tentang solusi tiga kelas sebagai solusi permanen. Itu hanya tidak berbau."
Dalam pengamatan mendalam tentang fungsi Otoritas Palestina dalam mempertahankan sandiwara politik yang didirikan oleh Israel, bahkan dia mengatakan bahwa itu adalah "makhluk unik" yang mirip dengan "setan Aladdin".
Argumennya adalah bahwa sejauh menyangkut orang Israel, tidak ada Palestina dan tidak ada PA.
Israel, di mata mereka, memiliki kedaulatan penuh atas Palestina yang bersejarah dan PA ada hanya untuk membebaskan Israel dari kesalahan apa pun.
“Ketika kita harus melalaikan tanggung jawab – misalnya tanggung jawab untuk memvaksinasi penduduk Palestina terhadap [Covid-19] – kita hanya perlu menggosok lampu, dan Shazam! Tiba-tiba makhluk ini [PA] muncul dengan segala kemuliaannya, menghapus semua tanggung jawab dari kami."
Akar dari pendudukan Israel yang tampaknya tidak pernah berakhir, kata Harari.
Yaitu berasal dari pandangan dunia yang menempatkan "kesetiaan suku" di atas segalanya.
"Mereka yang percaya pada prinsip kesetiaan suku percaya bahwa tuntutan keadilan bagi mereka yang bukan anggota suku adalah pengkhianatan."
Oleh karena itu, menurut Ahmad, jika Harari benar, maka Israel sedang menuju "solusi dari tiga kelas".
Menurutnya, seluruh dunia akan menyebutnya apartheid, kejahatan serius di bawah hukum internasional.
Baca Juga: Kalender Oktober 2021: Cek Hari Libur Nasional Serta Hari Besar Nasional dan Internasional
(*)