Intisari-Online.com – Ada hal-hal tertentu yang harus dipatuhi jika peperangan ini berhasil.
Termasuk tentara yang terlatih dan strategi militer yang baik dapat menjadikan perbedaan pada keberhasilan dan kegagalan perang.
Bahkan ketika dewan militer telah menyusun rencana yang bagus, belum ada jaminan bahwa akan memenangkan perang, terkadang ada hal-hal yang tidak selalu berjalan seperti yang diharapkan.
Demikian pula yang terjadi di masa lalu, meskipun keterlibatan militer telah cukup terorganisir.
Terkadang pertempuran pun berakhir bak di jalan buntu, di mana tidak ada pemenangnya.
Sebaliknya, ada pula pertempuran yang menjadi bencana total ketika satu pasukan benar-benar dihancurkan oleh yang lain.
Salah satu yang terjadi dan paling membingungkan adalah jatuhnya Singapura pada tahun 1942, selama Perang Dunia Kedua.
Pertempuran ini dianggap sebagai salah satu kekalahan militer terbesar Angkatan Darat Inggris.
Benteng Inggris di Singapura dianggap sebagai benteng yang tak tertembus.
Pangkalan udara dan angkatan laut mereka yang ditugaskan pada tahun 1939 dan 1941 masing-masing sangat mengesankan dan menakutkan.
Dermaga Graving King George VI di pangkalan angkatan laut adalah dermaga kering terbesar di dunia dengan skala 300 meter penuh untuk menunjukkan kapasitas Angkatan Laut Malaya Inggris.
Pada Maret 1941, Inggris mencegat pesan dari Adolf Hitler kepada Menteri Luar Negeri Jepang, Yosuke Matsuoka.
Dalam pesan ini tertulis bahwa pemimpin Nazi mendesak Matsuoka untuk menyerang benteng Inggris di Timur Jauh.
Hitler menyatakan bahwa menaklukkan Inggris di Malaya akan menjadi dasar untuk menggulingkan Inggris.
Ada sedikit keraguan tentang pentingnya Singapura bagi Kerajaan Inggris, karena pangkalan angkatan laut mereka ditempatkan di sana untuk melindungi aset Persemakmuran lainnya.
Inggris tidak gentar dengan temuan ini dan sedikit takut pada pasukan Inggris yang ditempatkan di pulau itu.
Mereka yakin bahwa benteng itu tidak bisa ditembus.
Pulau itu memiliki dua area serangan utama yang menjadi perhatian.
Yang pertama adalah laut, tetapi pangkalan angkatan laut Inggris di sana mampu untuk mempertahankan serangan dari arah tiu.
Yang kedua, adalah luasnya medan hutan yang dianggap terlalu sulit bahkan untuk dipertimbangkan oleh Jepang.
Churchill menyebut benteng itu sebagai ‘Gibraltar dari Timur Jauh’ seperti termuat dalam sebuah surat kabar.
Pasukan Inggris terlalu percaya diri, mereka menganggap tentara Jepang itu lemah, sering menyebutnya sebagai ‘Jepang Kecil’
Meskipun Jepang percaya mitos bahwa benteng Inggris tak bisa ditembus, namun mereka tetap memutuskan untuk mengambilalih guna menaklukkan Asia Tenggara dan Hindia Timur.
Jepang memiliki hanya sedikit sumber daya mineral, maka berusaha memperolehnya dengan paksa dari daerah lain.
Jepang telah menaklukkan sebagian besar China dan Manchuria pada 1930-an, untuk mendapatkan sumber daya besi dan batu bara, yang kemudian digunakan Jepang untuk memproduksi baja.
Mereka memiliki satu sumber daya penting yang tersisa untuk diperoleh, yaitu minyak.
Jadilah, Hindia Timur, termasuk Singapura, menjadi sasaran utama Jepang.
Rupanya benteng Inggris itu sangat kekurangan kapal, karena sebagian besar armada Inggris telah dikirim ke Eropa dan Timur Tengah, di mana Inggris merasa lebih dibutuhkan.
Kampanye Singapura dimulai pada 8 Desember 1941, ketika dua konvoi Jepang mendarat di Patani di Thailand Selatan, Singora, dan Malaya utara.
Di akhir hari itu, sekitar 27.000 tentara Jepang, yang terlatih dalam pertempuran hutan dan di bawah komando Jenderal Yamashita Tomoyuki, telah mengamankan posisi mereka di Malaya dan merebut pangkalan udara Inggris di Kota Baharu.
Pemboman udara Singapura pun dimulai.
Tidak menyadari bahwa pangkalan udara mereka telah direbut, Pangeran Wales dan Repulse berlayar ke Malaya utara dalam upaya untuk menempatkan setiap kapal Jepang yang belum mendarat.
Kapal-kapal itu ditenggelamkan pada 10 Desember oleh pesawat Jepang.
Orang Jepang sangat cepat, menggunakan sepeda sebagai alat pergerakan melintasi medan hutan.
Dengan kombinasi sepeda dan perahu yang bisa dilipat, mereka mengepung tentara Inggris di Malaya Utara, memotong jalur suplai mereka.
Tentara Inggris di wilayah tersebut dipimpin oleh Letnan Jenderal Arthur Ernest Percival yang baru dipromosikan ke posisi komando ini pada bulan April, inilah pertama kalinya ia memimpin korps tentara.
Pada tanggal 31 Januari 1942, jalan lintas di Johore Baharu yang menghubungkan Malaya dan Singapura diledakkan oleh Jepang, sehingga menimbulkan celah lima puluh meter.
Pertempuran yang berakhir dengan penyerahan Inggris berlangsung dari tanggal 8 sampai 15 Februari, di mana setengah dari Singapura sudah diduduki oleh Jepang.
Setelah seminggu pertempuran, Percival diberitahu bahwa amunisi dan air akan habis pada hari berikutnya.
Dia akhirnya menyetujui untuk menyerah kepada Jepang yang bersikeras bahwa Percival berbaris dengan bendera putih gencatan senjata untuk menegosiasikan persyaratan penyerahan.
36.000 tentara Jepang telah melakukan apa yang dianggap tidak mungkin oleh banyak orang, yaitu memperoleh kemenangan yang menentukan atas Tentara Melayu Inggris, dengan 90 persen dari 90.000 orang ditangkap sebagai tawanan perang.
Kekalahan ini merupakan pukulan telak bagi Kerajaan Inggris, dan salah satu yang menandai dimulainya pembelotan kebijakan luar negeri Australia dari Inggris.
Setelah Inggris menyerah, Australia mulai meminta bantuan kepada Amerika Serikat, dan tidak lagi dapat mempercayai Angkatan Darat Inggris untuk melindungi mereka.
Australia telah memihak Inggris selama perang dan Perdana Menteri mereka saat itu, John Curtin, mengatakan kepada Churchill bahwa Australia akan menganggap tindakan menyerah sebagai pengkhianatan yang tidak dapat dimaafkan.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari