Sudah Hampir 2 Bulan Inggris Hidup dengan Mengabaikan Prokes dan Covid-19, Terkuak Beginilah Kondisinya Sekarang, Apakah Masih Aman apa Makin Kolaps?

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi Covid-19
Ilustrasi Covid-19

Intisari-online.com - Pada 19 Juli 2021 lalu, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengumumkan akan membawa Inggris hidup berdampingan dengan Covid-19.

Pasalnya, ia percaya Covid-19 suatu saat akan menjadi penyakit endemik jadi manusia perlu mempersiapkan diri untuk hidup berdampingan dengan Covid-19.

Bahkan semua kegiatan sudah dilakukan dan prokes pun tidak seketat sebelumnya.

Hampir 60.000 fans datang ke Emirates Stadium (London) untuk menyaksikan pertandingan antara Chelsea dan Arsenal akhir pekan lalu.

Baca Juga: Beruntung Bagi yang Sudah Vaksin Covid-19, Penelitian Ini Ungkap Perbedaan Kondisi Orang Sebelum dan Sesudah Vaksin Jik Terinfeksi Covid-19, Ternyata Begini Kondisi Darahnya

Di kereta bawah tanah, di mana aturan wajib memakai masker masih dipertahankan, tapi 50% penumpang membiarkan wajah merekatanpa masker.

Itu semua terjadi pada saat Inggris mencatat peningkatan lebih dari 30.000 kasus Covid-19 sehari.

Rumah sakit menghadapi tekanan yang meningkat sementara data awal menunjukkan bahwa kekebalan yang dihasilkan vaksin telah menurun selama beberapa bulan setelah injeksi kedua.

Menurut The New York Times, ini adalah periode baru yang aneh di Inggris, ketika publik mengabaikan tetapi virus tidak.

Baca Juga: Target 2 Juta Vaksinasi Covid-19 Per Hari pada Agustus Tak Tercapai, Indonesia Disebut Akan Alami Hiperendemi Covid-19, Apa Itu?

"Inggris tampaknya tidak lagi peduli dengan tingkat infeksi yang tinggi. Tampaknya Inggris menerima ini bahwa ini adalah harga kebebasan," kata pakar Tim Spector dari King's College London.

Menurut para ahli, bagian dari "ketenangan" ini mungkin berasal dari fakta bahwa tingkat infeksi Inggris lebih rendah dari prediksi awal.

Meskipun tinggi, tidak signifikan dibandingkan dengan tingkat yang diprediksi oleh pejabat pemerintah negara itu ketika mereka membuka kembali negaranya.

Bagian lain bisa berasal dari tingkat vaksinasi yang tinggi sementara jumlah rawat inap di rumah sakit menurun.

Kelelahan setelah 17 bulan lockdown ketat juga bisa menjadi salah satu faktor penyebabnya.

"Ada perasaan bahwa kita akhirnya bisa bernapas lega, kita bisa mulai kembali ke kehidupan lama kita,"kata pakar Devi Sridhar dari University of Edinburgh (UK).

"Sangat sulit untuk meminta orang tinggal di dalam rumah untuk waktu yang lama, terutama jika tidak. Ada solusi konkret," imbuhnya.

Baca Juga: Setiap 1 Warga Jember Meninggal Karena Covid-19, Pejabat Dapat Rp100.000, TotalBupati Jember Raup Rp70 Juta

Dengan hampir 80% populasi orang dewasa telah divaksinasi penuh tetapi Covid-19 masih menyebar luas.

Pakar Sridhar mengatakan Inggris dapat menjadi model bagi negara lain untuk menilai apakah mereka dapat mengendalikan pandemi secara berkelanjutan atau tidak.

Menurut Sridhar, saat ini belum ada bukti yang meyakinkan karena Inggris masih menghadapi banyak tantangan berat, seperti terkait pembukaan kembali sekolah minggu depan.

Langkah ini pasti akan mendorong tingkat infeksi lebih tinggi, terutama karena Inggris belum memvaksinasi anak-anak dan remaja muda.

Namun, ahli epidemiologi tidak membuat prediksi spesifik karena banyak prediksi yang salah pada bulan Juli.

Ketika itu jumlah infeksi turun tiba-tiba setelah "Hari Kebebasan" ketika sebagian besar pembatasan dicabut.

Artikel Terkait