Intisari-Online.com – Ini kisah sniper alias penembak jitu yang menyelamatkan dirinya dengan bersembunyi di dalam ‘kuda’ yang terbuat dari bubur kertas, di tanah tak berpenghuni.
Kuda menjadi andalan logistik saat pertempuran Perang Dunia I, dengan tugasnya menarik amunisi dan persenjataan, juga mengangkut orang sakit dan terluka.
Namun, kuda juga menjadi korban dalam perang akibat penggunaan ekstensif dalam peperangan modern.
Mayat yang membusuk dari banyaknya kuda yang jatuh adalah pemandangan umum di medan perang Somme.
Daerah yang menjadi tanah tak bertuan di antara parit-parit itu menjadi daerah neraka, diledakkan dengan tembakan, bertabur kawat berduri dan jebakan, tempat peristirahatan terakhir ribuan infanteri dari kedua belah pihak yang berperang.
Tidak mungkin untuk menyeberang, sehingga perang parit menjadi identik dengan jalan buntu.
Saat inilah, mencari tahu apa yang sedang dilakukan musuh menjadi aktivitas utama karena kedua belah pihak mencoba untuk maju dan mengambil posisi dengan cara apapun.
Sekutu dan Jerman sama-sama membutuhkan kecerdasan untuk mendapatkan keuntungan dan menggunakan cara yang sangat kreatif untuk mendapatkannya.
Prancis kemudian bereksperimen dengan bubur kertas untuk membuat ‘kepala’ yang mereka sandarkan di atas tepi parit pada musim dingin tahun 1915, untuk mengelabui para sniper.
Membiarkan sniper mengenai prajurit palsu ini berarti lokasinya dapat ditentukan dan kemudian ditargetkan secara akurat.
Penggunaan bubur kertas tidak hanya di situ.
Merasa berhasil dengan manekin dari bubur kertas, orang Pracis kemudian menciptakan bangkai kuda palsu.
Idenya diilhami dengan mengamati bahwa bangkai kuda, meski berada cukup dekat dengan parit musuh, namun diabaikan oleh Jerman.
Suatu malam, sekelompok tentara Prancis menyelinap ke dekat garis musuh dan menyeret kuda yang mati, lalu menggantinya dengan replika dari bubur kertas.
Seorang sniper kemudian merangkak masuk ke dalamnya, sementara rekan-rekannya menarik kabel telepon dari kuda ke parit, sehingga sniper tersebut dapat melaporkan pengamatan gerakan pasukan musuh.
Prancis lolos dengan ide ini selama tiga hari sebelum Jerman melihat sniper itu memanjat keluar dari kuda poni palsu.
Tentu saja, mereka tidak membuang waktu untuk melenyapkan umpan tersebut, upaya pertama itu berhasil, kemudian mereka melakukan lagi pada beberapa kesempatan.
Ide cerdas dalam hal kamuflase bukan satu-satunya milik militer Prancis, tentara Jerman juga mampu membuat alat mata-mata yang sangat tahan lama.
Di Belgia, ada sederetan tunggul yang menghitam dan terbakar yang disebut kayu Oostaverne, tamparan di dekat tanah tak bertuan, dekat Messines.
Pada tahun 1917 militer Jerman membangun tunggul pohon setinggi 7,62 meter dari pipa baja, mengecatnya agar menyerupai kulit kayu yang terbakar untuk menyatu dengan batang pohon yang tersisa.
Itulah yang menjadi ruang sempit yang digunakan untuk tempat sembunyi sniper, yang juga dapat melaporkan pergerakan pasukan yang telah dilihatnya dari posisi depan.
Menggunakan api pengalih perhatian untuk mengalihkan perhatian sekutu, Jerman menebang pohon yang ada dan menggantinya dengan replika baja.
Pohon palsu itu didirikan semalam dalam upaya logistik besar-besaran di antara sisa-sisa kayu.
Pohon palsu itu tetap beroperasi sampai Jerman harus mundur setelah Pertempuran Messines, ketika Inggris membuat terowongan di bawah garis Jerman dan menghancurkan parit mereka dari bawah.
Pohon palsu itu sukses hingga Sekutu tidak tahu selama berbulan-bulan bahwa gerakan mereka dimata-matai oleh musuh dari jarak dekat.
Memang, Inggris berdiri di posisi depan mereka, di samping pohon palsu selama beberapa bulan sebelum akhirnya ditemukan.
Setelah perang, pohon palsu itu dipajang di Australian War Memorial.
Sementara, replika kuda yang pernah digunakan saat Perang Dunia I mengilhami banyak buku, film, dan pertunjukan panggung.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari