Ngambek Sampai Sebut Indonesia 'Pendusta yang Tak Becus Pahami Masalah', Terbongkar Niat Busuk Sebenarnya Israel Dekati Indonesia, Jauh dari Kata Damai

Tatik Ariyani

Editor

Naftali Bennett, Perdana Menteri Israel yang baru.
Naftali Bennett, Perdana Menteri Israel yang baru.

Intisari-Online.com - Israel berupaya keras untuk melakukan normalisasi hubungan dengan negara-negara mayoritas Muslim.

Tahun lalu, Israel berhasil membuat 4 negara seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan dan Maroko untuk melakukan normalisasi hubungan.

Namun, Israel tentu saja tak puas sampai di situ. Israel ingin lebih banyak negara Muslim yang mengakui eksistensinya.

Kemudian, Indonesia,Malaysia dan Brunei pun menjadi sasaran berikutnya. Namun, upaya itu tentu tak mudah mengingat ketiga negara sangat mendukung kemerdekaan Palestina.

Baca Juga: Bak Lupa Dirinya Dicecar Seluruh Dunia Karena Kebrutalanya Pada Palestina, Ternyata Israel Diam-Diam Bela Umat Muslim Tertindas di Negara Ini

Kelompok Muslim dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesia telah menolak tawaran Israel untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara mayoritas Muslim lainnya.

Mereka menegaskan bahwa UUD 1945 Indonesia menolak segala bentuk penjajahan.

Berbicara kepada Anadolu Agency (AA), Sudarnoto Abdul Hakim, direktur Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk hubungan luar negeri dan kerja sama internasional, mengatakan Israel berusaha memecah kekuatan negara-negara pendukung Palestina, khususnya di Asia Tenggara.

Hakim mengatakan bagi Indonesia, mendukung kemerdekaan Palestina adalah amanat UUD 1945.

Baca Juga: Pergi ke Negara Palestina, Jangan Lupa Kunjungi 10 Tempat Wisata Terbaik Ini, Salah Satunya Jadi Rebutan dalam Konflik Israel dan Palestina

"Jadi sangat kecil kemungkinan Indonesia akan mengubah pandangannya dan mengikuti ajakan Israel," katanya.

Kamis lalu, Duta Besar Israel untuk Singapura Sagi Karni, mengatakan kepada media lokal bahwa Israel ingin membangun hubungan dengan negara-negara mayoritas Muslim di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei.

Sementara itu, ketiga negara telah menyerukan diakhirinya pendudukan Israel atas wilayah Palestina dan solusi dua negara berdasarkan perbatasan sebelum Perang Arab-Israel 1967.

Melansir Anadolu Agency, Rabu (23/6/2021), Karnipun mengutarakan kritik dari para pemimpin tiga negara itu "tidak jujur" dan mengabaikan "sifat sebenarnya dari konflik," yang katanya (konflik) adalah antara Israel dan kelompok perlawanan Palestina Hamas dan bukan rakyat Palestina, menurut Jerusalem Post.

Menanggapi pernyataan tersebut, Hakim menyebut narasi yang dikembangkan oleh Israel sebagai "upaya untuk melokalisasi masalah Palestina, seolah-olah masalah itu hanya masalah hubungan antara Israel dan Hamas, padahal mereka terus menduduki Palestina."

“Memang tiga negara muslim di Asia Tenggara ini – Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam – termasuk negara yang tidak pernah mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel,” tambahnya.

Menyebut pernyataan Karni sebagai "bentuk pengalihan naratif yang sangat menyesatkan," Hakim mengatakan pernyataan itu menutupi fakta sejarah tentang pencaplokan, penggusuran, dan genosida yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina.

Baca Juga: Italia vs Austria di Euro 2020,Ini Sejarah Pertemuan Keduanya

"Masalah utamanya adalah pendudukan dan imperialisme Israel. Ini bukan konflik antara Hamas dan Israel," katanya.

Mengenai Perdana Menteri Israel Naftali Bennett yang baru, Hakim mengatakan dewan akan tetap teguh dan situasi ini hanya akan memperkuat pendiriannya dalam membela Palestina.

Berbicara kepada AA, Muhendri Muchtar, Ketua Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina (KISPA), mengatakan tidak ada kesalahpahaman tentang sikap orang Indonesia untuk mendukung Palestina.

Muchtar mengatakan Karni mencoba memutarbalikkan fakta tentang situasi di Palestina, menyebutnya "penipuan Israel atas pendudukan Palestina."

"Dari sudut pandang kemanusiaan, setiap manusia tidak akan setuju dengan kolonialisme," katanya.

Muchtar juga menolak pernyataan yang mengatakan Israel hanya memerangi Hamas, bukan Palestina.

Muchtar mengatakan, "Jika yang terjadi di Palestina adalah perang Israel melawan Hamas, mengapa faksi-faksi perlawanan lainnya, termasuk Fatah, yang melakukan pembalasan?"

Sementara itu, Agung Nurwijoyo, pakar Timur Tengah dari Universitas Indonesia, mengatakan membuka hubungan diplomatik dengan Israel bukanlah prioritas kebijakan luar negeri Indonesia saat ini.

Baca Juga: Pergi ke Negara Palestina, Jangan Lupa Kunjungi 10 Tempat Wisata Terbaik Ini, Salah Satunya Jadi Rebutan dalam Konflik Israel dan Palestina

"Kami juga belajar dari normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab baru-baru ini bahwa itu bukan jaminan perdamaian," kata Nurwijoyo kepada AA.

Dia mengatakan Israel berusaha menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia karena pengakuan kedaulatan Israel oleh negara-negara mayoritas Muslim akan menambah legitimasi klaim Tel Aviv.

Nurwijoyo mengatakan pembukaan hubungan diplomatik merupakan pintu masuk bagi kerjasama formal yang lebih luas antara Indonesia dan Israel, termasuk perdagangan, investasi dan pertahanan.

Dia menyarankan agar Indonesia fokus pada langkah-langkah mendorong untuk memfasilitasi kehadiran aktor internasional, baik di Yerusalem, Tepi Barat yang diduduki atau Jalur Gaza, sebagai tindakan pencegahan terhadap eskalasi konflik.

Nurwijoyo mengatakan negara perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk membuat "peta jalan perdamaian," dimulai dengan penyatuan Palestina, khususnya antara Hamas dan Fatah.

Dia mengatakan Indonesia juga harus tetap konsisten dalam mengambil langkah-langkah konkrit untuk Palestina, terutama untuk peningkatan kapasitas masyarakat Palestina yang terus dilakukan selama ini.

“Akan lebih baik jika juga dibangun langkah konkrit dengan kelompok masyarakat sipil yang memang memiliki simpati yang besar terhadap masalah ini,” tambahnya.

Artikel Terkait