Intisari-Online.com - Israel telah memulai pemerintahan barunya yang dipimpin Perdana Menteri Naftali Bennet, seorang nasionalis sayap kanan Yahudi.
Pemerintahan baru israel ini resmi dilantik pada Minggu (13/6/2021) dan mengakhiri masa pemerintahan Benjamin Netanyahu yang telah berlangsung 12 tahun berturut-turut.
Meski hadir menggantikan Benjamin Netanyahu, sebenarnya dari sisi ideologi keduanya tidak ada perbedaan.
Tak ayal hal itu menjadi sorotan para ahli, dan baru-baru ini Naftali Bennet telah mendapat kecaman dari ootoritas Palestina.
Bennett telah berulang kali menentang pembentukan negara Palestina di wilayah-wilayah pendudukan.
Sebaliknya, ia mengusulkan Israel secara sepihak mencaplok sekitar 60 persen dari Tepi Barat Palestina, yang berada di bawah kendali penuh Israel di bawah Kesepakatan Oslo.
Pada 2013 dia menyatakan, "Saya mendukung penerapan kedaulatan Israel atas zona di mana 400.000 (pemukim) tinggal dan hanya 70.000 orang Arab."
Bukan hanya Palestina saja yang menjadi incaran Naftali Bennet.
Pemerintahan baru Israel kini dikabarkan sedang mencari cara untuk memulai kembali rencana menyerang situs nuklir Iran hanya kurang dari dua minggu Naftali Bennet dilantik.
Melansir express.co.uk(21/6/2021), Bennett menggunakan rapat kabinet pertamanya di Yerusalem untuk mencap Presiden baru Iran sebagai "pembunuh massal".
Perdana Menteri Israel mengatakan pemilihan Raisi adalah "kesempatan terakhir bagi kekuatan dunia untuk bangun sebelum kembali ke perjanjian nuklir dan untuk memahami dengan siapa mereka berurusan".
Naftali Bennet pun mengecam Iran atas program nuklirnya.
“Orang-orang ini adalah pembunuh, pembunuh massal.
"Rezim algojo brutal tidak boleh diizinkan memiliki senjata pemusnah massal yang memungkinkannya untuk tidak membunuh ribuan, tetapi jutaan," katanya.
Sementara juru bicara kementerian luar negeri Israel, Lior Haiat, menggambarkan Raisi sebagai "seorang ekstremis yang bertanggung jawab atas kematian ribuan orang Iran".
Sebuah sumber Pemerintah Israel juga mengatakan kepada penyiar Channel 12: “Tidak akan ada pilihan [sekarang] selain kembali dan mempersiapkan rencana serangan untuk program nuklir Iran. Ini akan membutuhkan anggaran dan realokasi sumber daya.”
Pada Sabtu (19/6/2021), Ebrahim Raisi dinyatakan sebagai presiden terpilih Iran setelah penghitungan suara.
Menteri Dalam Negeri Iran Aboldreza Rahmani Fazli menuturkan, Raisi meraup 61,95 persen suara.
Raisi sempat ditunjuk sebagai Ketua Mahkamah Agung Iran pada 2019 oleh Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenai.
Terkait program nuklir Iran, Israel sendiri telah lama menjadi pengecamnya.
Meski itu diklaim Teheran sebagai program nuklir damai, Israel tak percaya dan terus menyerukan untuk menghentikan mereka.
Pada Maret lalu, Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz mengatakan, "Jika dunia bisa menghentikan mereka, maka itu bagus, tetapi jika dunia tidak mampu melakukannya, kami sendiri yang harus melakukannya."
Sementara pada 11 April, Iran melaporkan kerusakan kritis pada sentrifugal fasilitas nuklir Natanz.
Serangan di Natanz awalnya digambarkan hanya sebagai pemadaman listrik, tetapi kemudian para pejabat Iran mulai menyebutnya sebagai serangan.
Mohammad Javad Zarif, menteri luar negeri Teheran saat itu, menyalahkan Israel.
"Zionis ingin membalas dendam karena kemajuan kami dalam mencabut sanksi.
"Mereka secara terbuka mengatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan ini. Tapi kami akan membalas dendam kami dari Zionis," katanya.
Setelah pergantian pemerintahan Israel, tampaknya ketegangan kedua negara ini masih akan terus berlanjut.
(*)