Intisari-online.com -Rincian baru telah muncul mengenai tuduhan plot menggulingkan Raja Abdullah dari Yordania.
Tuduhan ini mengindikasikan jika mantan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memainkan peran penting dengan pejabat senior di dalam pemerintahan Trump dan Yordania.
Serta, sekutu Netanyahu yang tidak terduga: pemerintahan Putra Mahkota Arab Saudi Muhammad Bin Salman.
Rincian peran yang dimainkan oleh Netanyahu, yang digulingkan kemarin setelah parlemen Israel melakukan perhitungan suara di pemerintahan koalisi baru dipimpin oleh nasionalis sayap kanan Naftali Bennett, dilaporkan di artikel Washington Post oleh David Ignatius berjudul "Intrik di dalam istana Yordania dan 'kesepakatan abad ini' yang gagal".
Ignatius membeberkan skandal mengerikan April lalu ketika mantan putra mahkota Yordania Hamzah Bin Hussein dituduh merencanakan menggulingkan Raja Abdullah II.
Plot tersebut katanya telah didukung oleh Putra Mahkota Arab Saudi Muhammad Bin Salman (MBS).
Artikel di Washington Post itu berdasarkan laporan investigasi Yordania atas kasus tersebut dan juga diskusi dengan pejabat dan mantan pejabat yang kenal dengan kebijakan Timur Tengah dari mantan presiden Donald Trump.
Keberatan dari Raja Abdullah terhadap "kesepakatan abad ini" dikatakan menjadi alasan rencana menggulingkannya.
Keberhasilan rencana itu memerlukan pengaturan baru untuk Yerusalem Timur yang diduduki, dan perlu upaya menggantikan perwalian Yordania atau Hasehmite terhadap Masjid Al-Aqsa.
Pada Maret 2019, dua bulan sebelum administrasi Trump melepaskan porsi rencana ekonomi di Bahrain bernama "Perdamaian Kemakmuran", Raja Abdullah mengisukan salah satu kecaman terkasar untuk 'rencana perdamaian' tersebut.
"Aku tidak akan mengubah posisiku di Yerusalem, tidak peduli apa yang orang lain bilang. Kami memiliki tugas sejarah terhadap Yerusalem dan situs suci…. Apakah ada tekanan untukku dari luar negeri? Memang ada, tapi bagiku, ini sudah batasnya," ujar Abdullah.
Pada wawancara terpisah di saat yang sama, Raja Abdulah justru lebih empatik mengenai keberatannya.
"Aku, sebagai seorang Hashemite, bagaimana aku mundur atau melepaskan Yerusalem? Tidak mungkin…. Orang-orang membicarakan tentang 'kesepakatan abad ini' atau pengganti kampung halaman. Bagaimana? Apakah kami tidak mendapat suara?" ujarnya.
Ignatius mengklaim jika Jared Kushner, menantu Trump dan kepala penasihat negosiasi itu, menerima Netanyahu dan MBS, tapi tidak menerima Raja Yordania.
"Orang-orang Trump jadi yakin jika raja menjadi penghambat proses perdamaian," ujar salah satu mantan pejabat CIA.
Sementara Trump, Netanyahu dan MBS tidak tampak bekerja menggulingkan raja, aksi mereka jelas-jelas melemahkannya dan menyokong musuhnya, papar Ignatius.
Menurut Ignatius, Netanyahu beroperasi lewat cara yang kasar, berkolusi dengan MBS dan Kushner untuk menggulingkan Raja Abdullah.
Ignaitus menulis jika perwakilan agen keamanan Mossad dan Shin Bet secara personal menghubungi Raja Abdullah menyangkal peran apapun di tuduhan rencana itu.
Temanya, menurut mantan pejabat intelijen AS, adalah: "Ini bukan kami. Ini datang di depan kami," yang artinya Netanyahu adalah bagian plot tersebut.
Plot itu sendiri sebagian sudah berjalan, dengan awal April lalu pasukan keamanan Raja menahan tiga pemuda Yordania yang ia curigai berencana mengguncang rezimnya.
Mereka adalah Pangeran Hamzah, mantan putra mahkota yang dirawat oleh ibu kelahiran Amerika untuk tahta; Sharif Hassan bin Zaid, relatif raja dan pemimpin suku yang kuat, dan Bassem Awadallah, mantan menteri Yordania yang menjadi orang kepercayaan dari putra mahkota Arab Saudi MBS.
Menurut intelijen Barat, aksi tuduhan rencana itu 'jauh ungguli kudeta secara hukum dan politik, dan merupakan upaya mengancam stabilitas Yordania dan menghasut orang-orang.
Dari mereka bertiga, Hamzah satu-satunya yang tidak didakwa hukuman apapun.
Laporan investigasi mengatakan ia dan keluarganya "di rumah di bawah perlindungan Yang Mulia Abdullah."
Laporan berargumen jika Hamzah tidak pernah menerima pencopotan jabatan tahun 2004 dan telah "tunjukkan dirinya sebagai alternatif" kepada saudara tirinya, Raja Abdullah.
Laporan Yordania itu masih berlanjut: "Awadallah bekerja mempromosikan 'kesepakatan abad ini' dan melemahkan posisi Yordania dan Raja di Palestina dan Perwalian Hashemite untuk situs suci Islam dan Kristen di Yerusalem."
Pengamat terkejut dengan apa yang terjadi di Yordania, beberapa curiga Abdullah bereaksi berlebihan terhadap politik keluarganya.
Namun rekonstruksi yang hati-hati dari cerita ini yang dikumpulkan dari AS, Inggris, Arab Saudi, Israel dan Yordania, tunjukkan tekanan ke raja adalah nyata dan telah dibangun sejak Trump mulai mendorong proyek mega perdamaiannya, dengan MBS dan Netanyahu sebagai sekutu kunci.
Jika diingat kembali, ini adalah rencana yang berhasil disembunyikan tepat di depan mata.
Kampanye Trump untuk normalisasi hubungan Israel dengan Arab memang patut dipuji, menghasilkan Perjanjian Abraham yang menghubungkan antara Israel dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan dan Moroko.
Namun yang benar-benar diinginkan Trump adalah Arab Saudi, dan untuk melakukannya, mereka mencoba menjegal Yordania, salah satu sekutu AS terdekat di Arab.
Kini, angin berubah.
Trump sudah hengkang dari kantornya, Netanyahu juga sudah bukan lagi perdana menteri Israel.
Yordania mulai stabil lagi dan penasihat Raja Abdullah mengatakan ia akan mengunjungi Gedung Putih musim panas ini.
Ia akan menjadi pemimpin Arab pertama yang bertemu secara langsung dengan Presiden Biden.
Sedangkan MBS sendiri masih galau dengan administrasi Biden dan masih menunggu telepon atau undangan presidensial.