Tak Heran Virus Corona Varian Delta Membuat WHO dan Amerika Ketar-Ketir, Ternyata Munculnya Varian Baru Covid-19 Ini Bisa Sebabkan Skenario yang Jauh Lebih Buruk Ini

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Kini virus corona varian delta menjadi strain dominan global di tengah gelombang baru, wabah epidemi Covid-19 di banyak tempat.
Kini virus corona varian delta menjadi strain dominan global di tengah gelombang baru, wabah epidemi Covid-19 di banyak tempat.

Intisari-online.com - Setahun lebih berlalu Covid-19 belum mereka justru ancaman baru kini ditemukan.

Mutasi virus corona ke tingkat yang lebih berbahaya muncul dan menjadi ancaman baru dunia.

Menurut pakar ilmiah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan pada Jumat (18/6/21), varian delta pertama kali ditemukan di India.

Kini virus corona varian delta menjadi strain dominan global di tengah gelombang baru, wabah epidemi Covid-19 di banyak tempat.

Baca Juga: Bukannya Mereda, Covid-19 Makin Merajalela di Indonesia, Rupanya Indonesia Kini Jadi Sorotan Dunia Karena Situasinya, Media Vietnam Sampai Memberitakannya Begini

Dr Soumya Swaminathan, mengatakan dalam konferensi pers, "varian delta secara bertahap menjadi varian dominan secara global, karena peningkatan infektivitas yang cepat."

Inggris telah mencatatkan peningkatan tajam dalam kasus varian delta.

Sedangkan pejabat tinggi kesehatan Jerman, memperkirakan virus corona varian delta akan menjadi dominan di negara tersebut.

Padahal di saat yang sama, vaksinasi di negara tersebut juga sedang ditingkatkan.

Baca Juga: Indonesia Tarik Utang Lagi dari Bank Dunia Senilai Rp13 Triliun Untuk Layanan Kesehatan, Rupanya Beginilah Kondisi Ekonomi Indonesia Saat Ini

Rusia juga mengumumkan bahwa varian Delta dari India menyumbang sebagian besar infeksi baru di negara ini.

Kremlin mengkritik penundaan vaksinasi karena menyebabkan jumlah kasus baru terus meningkat setelah mencatat rekor jumlah infeksi baru, 9.056 di Moskow pada 18 Juni.

Pejabat WHO mengatakan Afrika tetap menjadi area yang menjadi perhatian, meskipun wilayah tersebut menyumbang sekitar 5% kasus baru dan sekitar 2% kematian baru secara global.

Mike Ryan, kepala program kedaruratan WHO, mengatakan jumlah infeksi baru di Namibia, Sierra Leone, Liberia, dan Rwanda berlipat ganda pekan lalu ketika akses vaksin terbatas.

Swaminathan juga menyatakan kekecewaannya atas kegagalan CureVac karena galur baru dengan tingkat penularan yang tinggi meningkatkan permintaan akan vaksin baru yang lebih efektif.

Sebelumnya, perusahaan Jerman CureVac mengumumkan bahwa mereka gagal mengembangkan vaksin ketika produknya hanya 47% efektif melawan epidemi, lebih rendah dari standar WHO 50%.

Sementara itu, Direktur US Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Rochelle Walensky mengatakan bahwa varian Delta bisa menjadi strain yang dominan di AS dalam dua atau tiga bulan ke depan.

Baca Juga: Melonjak Tinggi Sejak Januari, Kasus Covid-19 di Indonesia Dikhawatirkan Para Ahli, Bukan Karena Varian Baru, Rupanya Ini Penyebabnya, 'Akan Jadi Sangat Buruk'

Varian ini paling menular dan lebih mungkin menyebabkan penyakit parah pada orang yang tidak divaksinasi.

Presiden Biden pada 18 Juni mendesak orang Amerika yang tidak divaksinasi untuk divaksinasi sesegera mungkin, dengan alasan bahaya yang ditimbulkan oleh varian Delta.

"Bahkan saat kami membuat kemajuan luar biasa dalam vaksinasi, masih ada ancaman serius dan mematikan," kata Biden dari Gedung Putih.

"Ini adalah varian yang lebih menular, berpotensi fatal, dan terutama berbahaya bagi kaum muda, tetapi kabar baiknya adalah kami memiliki solusinya," kata Biden.

"Ini jelas menunjukkan bahwa vaksin adalah bentuk paling efektif untuk mencegah varian baru," tambahnya.

Sampai saat ini, sekitar 65% orang Amerika berusia 18 tahun ke atas telah menerima setidaknya satu dosis vaksin.

Artikel Terkait