Pemerintah mengatur ekspansi besar-besaran ini dalam Peraturan Menteri No. 26/2007 tentang pedoman perizinan usaha perkebunan yang diatur perluasan izin dari 20 ribu hektar sampai 100 ribu hektar per perusahaan dalam satu provinsi untuk minyak sawit perkebunan.
Peraturan lainnya adalah Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 14/2009 terkait pedoman penggunaan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit yang memungkinkan konversi lahan gambut sampai 3 meter untuk perkebunan kelapa sawit.
DPR RI juga menginisiasi draft RUU Perkelapasawitan sejak 2016 lalu dengan statusnya sekarang masih terdaftar di DPR. RUU ini jika disahkan akan memberikan angin segar melalui berbagai insentif baik fiskal maupun non fiskal pada industri sawit guna terus memperluas investasi.
Sawit memang dianggap minyak nabati paling ekonomis baik dari segi produksi maupun pengolahan. Kelapa sawit juga menjadi produk utama untuk menghasilkan produk lain seperti kosmetik, pembersih muka dan bahan bakar nabati.
Namun tidak semua pihak setuju dengan industri kelapa sawit. Salah satu yang paling dirugikan adalah masyarakat suku asli Papua.
Bukan sebuah rahasia lagi jika di Wilayah Indonesia Timur kini sedang dilaksanakan ekspansi sawit. Tidak heran, hutan-hutan Papua masih begitu luas dibandingkan hutan di Kalimantan dan Sumatra yang sudah gundul oleh industri minyak nabati ini.
Namun hutan dan tanah Papua juga menjadi tempat tinggal dan sumber kehidupan bagi kurang lebih 1187 suku asli yang mendiami, dengan suku asli di Papua sebanyak 312 suku dan 875 suku lain di Papua Nugini.
Hutan alami Papua ternyata juga menyusut seiring proses degradasi dan laju kerusakan hutan atau deforestasi yang terjadi dari waktu ke waktu.
Penulis | : | Maymunah Nasution |
Editor | : | Maymunah Nasution |
KOMENTAR