Intisari-Online.com -Selama ini banyak yang menilai ekonomi China akan babak belur usai menjalani perang dagang dengan Amerika Serikat.
Apalagi, selang satu tahun setelah gesekan dengan negara adidaya tersebut, China dihantam oleh pandemi Covid-19.
Hanya saja, faktanya ekonomi China malah berhasil selamat bahkan seolah menjadi 'pemenang' tunggal hanya beberapa bulan usai virus corona menerjang.
Namun, bukan berarti ekonomi China bakal aman-aman saja, sebab justru sebuah aturan ketat yang mereka buat lebih dari 4 dekade silam justru bakal menjadi bumerang.
Bahkan perubahan radikal yang diambil oleh Presiden Xi Jinping dalam upayanya 'membalikkan keadaan' yang dipicu oleh aturan tersebut diyakini tak akan berhasil.
Negara dengan label mentereng sebagai pemilik perekonomian terbesar kedua sejagat tersebut terancam stagnan.
Memang, jika melihat fakta terbaru, setidaknya pada kuartal pertama 2021, pertumbuhan ekonomi China disebut sangat mencengangkan.
Seperti dilansir dari ANTARA, Produk Domestik Bruto (PDB) China telah mencapao 24,93 triliun yuan.
Saat negara lain masih terseok-seok bangkit dari pandemi Covid-19, China justru mengalami kenaikan ekonomi yang sangat pesat yaitu mencapai angka 18,3 persen.
Tetapi, China masih dibayang-bayangi sebuah mimpi buruk yang akan membuat Negeri Tirai Bambu tersebut tidak akan lagi bisa melihat angka kenaikan ekonomi sebesar itu.
Di tahun yang sama Covid-19 mulai muncul di Wuhan, ekonomi China sebenarnya sedang kembang-kempis.
Bahkan, sebelum wabah Covid-19 melanda, perekonomian negara tersebut uah diramal akan melambat.
Saat itu, ketidakpastian terkait dengan perang dagang menjadi landasan utama para analis meramal buruknya prospek ekonomi China.
Saat itu, pertumbuhan ekonomi China akan melambat dari 6,6% pada 2018, menjadi 6,1% pada 2019, 5,9% pada 2020, dan 5,8% pada 2021.
China pun pada akhirnya memutuskan untuk bergerak cepat mencegah perlambatan laju ekonomi di negaranya.
Mereka ogah terbuai dengan melesatnya pertumbuhan ekonomi mereka di awal tahun 2021 ini.
Terbukti, dengan munculnya sebuah kebijakan radikal yang diambil oleh Xi Jinping pada pertengahan 2021 ini.
Kebijakan yang mengubah sebuah aturan yang selama lebih dari 4 dekade dijalankan dengan sangat ketat di Republik Komunis tersebut.
Aturan yang dimaksud adalah "kebijakan keluarga berencana" di mana China hanya membolehkan satu keluarga memiliki 1 orang anak.
Namun, siapa sangka bahwa aturan tersebut kemudian dilonggarkan bahkan dengan sangat radikal di pertengahan tahun ini, yaitu dibolehkannya keluarga China memiliki hingga 3 orang anak.
Lalu apa yang mendorong Xi Jinping mengambil langkah radikal? Lalu apa juga hubungannya dengan ekonomi China?
Ternyata, menurunnya tingkat kesuburan warga China yang berada di bawah standar mempertahankan populasi, telah mengancam jumlah angkatan kerja baru.
Dengan kata lain, China akan mengalami kondisi kekurangan tenaga kerja jika aturan "satu keluarga satu anak" terus diterapkan.
Namun, apakah perubahan radikal yang diambil Xi Jinping akan menyelamatkan China? Jawabannya adalah bisa jadi tidak.
Dilansir dari Euronews, aturan baru dari Xi Jinping tidak akan serta merta mengubah angka kelahiran di China secara signifikan.
Moody’s Investors Service menganggap bahwa jumlah anggota masyarakat yang menua tidak akan dengan cepat tergantikan oleh bayi yang lahir setelah kebijakan baru dibuat.
“Meskipun kebijakan baru China yang mengizinkan pasangan untuk memiliki hingga tiga anak, hal tersebut tidak mungkin secara dramatis mengubah angka kelahiran nasional, yang berarti bahwa penuaan akan tetap menjadi kendala kredit-negatif”, kata Moody's.
Belum lagi, menurut Moody's, China juga belum tentu mampu menyediakan segala kebutuhan masyarakatnya jika kelak terjadi lonjakan jumlah penduduk yang sangat signifikan.