Intisari-online.com - Baru minggu lalu Jepang umumkan mereka merencanakan membuang air limbah nuklir Fukushima ke Samudera Pasifik.
Rencananya pembuangan akan dilaksanakan selama 2 tahun.
Air limbah itu telah disimpan di tangki sejak gempa bumi dan tsunami merusak reaktor nuklir Fukushima tahun 2011 lalu.
Kapasitas penyimpanan tangki diperkirakan penuh tahun depan.
Untuk itulah Jepang memutuskan melakukan rencana jangka panjang membuang air limbah itu ke laut.
Meskipun pemerintah Jepang, Badan Pengawas Atom Internasional (IAEA) dan beberapa pakar telah berargumen jika pembuangan itu tidak berbahaya dan tidak merusak biota laut, tapi ada kekhawatiran sebaliknya.
Warga lokal Jepang, Korea Selatan, dan industri pemancingan Taiwan telah memprotes gerakan ini.
Demikian pula beberapa komunitas di Kepulauan Pasifik.
China sudah mencak-mencak, dengan satu persen jajak pendapat di media pemerintah China China Daily menyatakan "Jepang tidak bisa menggunakan Pasifik sebagai saluran pembuangannya".
Amerika Serikat (AS) lebih memaklumi langkah Jepang, dengan Menlu Antony Blinken memuji Jepang atas "upaya transparan" dalam keputusan mereka.
Namun Jepang juga menghadapi gugatan hukum, dengan Korea Selatan menjadi negara yang sudah mengancam akan ambil jalur hukum untuk penyelesaian masalah ini.
Dilansir dari The Interpreter, setidaknya ada 2 kesepakatan internasional yang mengatur atau melarang pembuangan limbah di laut.
Pertama adalah UNCLOS (Konvensi undang-undang Laut PBB) dan Protokol Konvensi Pencegahan Polusi Laut dengan Pembuangan Sampah dan Material Lain tahun 1996, dan Konvensi dan Protokol London 1972.
UNCLOS menyatakan semua pihak bekerjasama melindungi lingkungan laut dan di bawah Artikel 210 secara eksplisit memerlukan "undang-undang, regulasi dan penanganan akan memastikan polusi pembunagan tidak dilakukan tanpa izin otoritas wewenang di negara yang bersangkutan".
Terminologi itu akan didebat, entah itu mengenai 'otoritas wewenang' atau apakah rencana Jepang termasuk 'membuang'.
UNCLOS menjelaskan terminologi pembuangan sebagai 'tindakan bebas pembuangan sampah atau material lain di laut dari kapal, pesawat, bangunan atau struktur buatan manusia di laut."
Mengingat proposal mereka membuang air yang ditahan di daratan, hal ini mungkin tidak dibahas dalam konvensi itu.
Namun aksi Jepang bisa dianggap diperbolehkan di bawah Artikel 8 dari Konvensi dan Protokol London.
Artikel itu menjelaskan pembuangannya diperbolehkan selama kondisi daruat dengan tambahan pihak bersangkutan "harus berkonsultasi dengan negara lain atau negara-negara yang akan terdampak".
Hal itulah mungkin yang dianggap "transparan" dari Jepang yang memberi pemberitahuan 2 tahun sebelum aksinya benar-benar dilakukan.
Namun di kasus ini, perlu ditanyakan apakah kapasitas penyimpanan yang terbatas dapat dianggap darurat.
Pasalnya dalam artikel itu dimaksudkan darurat adalah menjadi ancaman bagi kesehatan, keamanan manusia, atau lingkungan laut dan tidak ada solusi lebih mudah".
Namun, permasalahannya adalah dua undang-undang ini tidak menyebutkan sanksi yang jelas untuk yang melanggar.
Penegakan hukum mengandalkan negara tepi pantai lain atau negara itu sendiri.
Baca Juga: Ikan 'Penanda' Gempa dan Tsunami Fukushima Tertangkap Nelayan, Warga Peru Siaga Gempa dan Tsunami
Negara-negara tetangga telah bereaksi dengan kuat, termasuk organisasi internasional Greenpeace.
Boikot dan larangan produk ikan Jepang telah dilakukan.
Namun kecuali ada solusi lain, Jepang tetap akan membuangnya ke Samudera Pasifik.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini