Intisari-Online.com -Pada masa-masa awal Presiden Filipina menjabat, Rodrigo Duterte membalikkan dekade kebijakan luar negeri dengan mengubah arah keberpihakan negaranya dari sekutu lama AS dan berputar menuju China.
Pejabat China dan Filipina menyatakan 'masa emas' dalam hubungan mereka.
Tetapi, empat tahun kemudian, masa emas itu bisa berakhir, menurut pengamat regional.
Melansir SCMP, Sabtu (25/7/2020), meningkatnya invasi militer China di Laut China Selatan dan janji-janji investasi yang tidak terpenuhi, ditambah dengan pandangan buruk publik di Filipina atas penanganan China terhadap virus corona, telah menuntun pemerintahan Duterte untuk memikirkan kembali hubungannya dengan Beijing.
Dan apa yang terjadi akhir-akhir ini tampaknya semakin membuat Filipina yakin untuk memulai perlawanan terhadap China.
Menteri Pertahanan Filipina pada Minggu (4/4/2021) menuduh Beijing berencana menduduki lebih banyak "fitur" di Laut China Selatan.
Perang kata-kata antar kedua negara Asia itu tengah meningkat karena keberadaan kapal-kapal China di perairan yang disengketakan tersebut.
China mengklaim hampir keseluruhan laut yang kaya sumber daya itu.
Pendiriannya ditegaskan dengan pembangunan beting kecil dan terumbu karang, menjadi pangkalan militer dengan lapangan terbang dan fasilitas pelabuhan.
Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei semuanya memiliki klaim tandingan atas perairan tersebut.
Wilayah itu menggabungkan jalur pelayaran yang sangat penting secara strategis dan diduga menampung simpanan minyak dan gas.
Armada lebih dari 200 kapal China memicu pertikaian diplomatik bulan lalu, setelah parkir di Whitsun Reef di Filipina.
Kapal itu sekarang tersebar di seluruh Kepulauan Spratly yang diperebutkan, melansir AFP.
Manila telah meminta Beijing menarik kapal "milisi maritim" dari daerah itu, dengan mengatakan kehadiran mereka melanggar hukum.
China menolak, dan bersikeras bahwa mereka adalah kapal penangkap ikan dan diizinkan beroperasi di sana.
Tetapi Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana mengatakan kapal-kapal itu ada di sana karena alasan lain.
"Kehadiran terus menerus milisi maritim China di daerah itu mengungkapkan niat mereka untuk menduduki lebih lanjut fitur-fitur di Laut Filipina Barat," ujarnya melansir AFP.
Lorenzana merujuk pada penyitaan China atas Scarborough Shoal dan Mischief Reef yang diklaim Filipina, sebagai contoh tindakan Beijing sebelumnya yang "dengan berani melanggar" kedaulatan negaranya.
Pada Sabtu (3/4/2021), Lorenzana secara blak-blakan menolak klaim China, yang mengatakan kapal-kapal yang diparkir di Whitsun Reef telah mencari perlindungan dari cuaca buruk.
Lusinan kapal masih menetap di wilayah itu.
"Saya tidak bodoh. Sejauh ini cuaca bagus, jadi mereka tidak punya alasan lain untuk tinggal di sana," katanya.
"Pergi dari sana."
Kedutaan Besar China di Manila menyebut pernyataan Lorenzana "membingungkan."
Beijing mendesak pihak berwenang menghindari "pernyataan tidak profesional yang selanjutnya dapat memicu emosi irasional".
Ketakutan akan meledaknya konflik habis-habisan kedua negara pun muncul pada hari Senin setelah asisten Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengecam dugaan serangan teritorial Beijing tersebut.
Melansir Express.co.uk, Selasa (6/4/2021), ratusan kapal China berisiko merusak hubungan diplomatik antara kedua negara dan menciptakan "permusuhan yang tidak diinginkan," menurut penasihat hukum Duterte.
Pengacara Duarte, Salvador Panelo mengutuk tetap bertahannya Beijing di wilayah yang disengketakan dan memperingatkan bahwa mereka dapat menyebabkan "permusuhan yang tidak diinginkan yang tidak ingin dikejar oleh kedua negara".
Dia menambahkan dalam sebuah pernyataan: "Kami dapat bernegosiasi tentang masalah yang menjadi perhatian dan keuntungan bersama, tetapi jangan salah tentang itu - kedaulatan kami tidak dapat dinegosiasikan."
Juru bicara presiden Filipina, Harry Roque, juga membahas ketegangan selama konferensi pers, mengungkapkan harapan bahwa kedua negara akan mencapai kesepakatan.
Dia berkata: "Kami tidak akan menyerahkan bahkan satu inci pun dari wilayah nasional kami atau zona ekonomi eksklusif (ZEE) kami dan kami berharap bahwa hubungan persahabatan akan menghasilkan resolusi damai dari kebuntuan terbaru ini."