Sukanto Tanoto, Taipan Sawit Indonesia yang Beli Bekas Istana Raja Jerman, Siapa Sangka Uangnya dari Praktik Pencucian Uang, Tiga Negara Termasuk Indonesia yang Merugi

Maymunah Nasution

Penulis

Sukanto Tanoto
Sukanto Tanoto

Intisari-online.com -Penelusuran data perbankan kembali dicurigai bagian operasi pengemplangan pajak miliarder dunia.

Melalui proyek OpenLux, para jurnalis berkolaborasi menyisir data-data perbankan.

Hal serupa dilakukan dalam mengungkap skandal Panama Papers.

Kini proyek OpenLux tunjukkan kepemilikan gelap gedung-gedung seorang bos sawit dan anaknya di Jerman.

Baca Juga: Skandal Wine Austria: Saat Manisnya Wine Austria yang 'Memabukkan' Eropa, Nyatanya Dipicu Zat Mematikan Perusak Ginjal

Ialah Sukanto Tanoto, beserta anaknya Andre, yang di tahun 2019 membeli satu dari tiga gedung mewah rancangan arsitek kondang Frank O. Gehry di kota pusat perekonomian Düsseldorf, ibu kota negara bagian Nordrhein Westfalen (NRW).

Gedung tersebut dibeli seharga 50 juta euro (sekitar Rp 847 miliar).

Tak lama kemudian, Tanoto Sukanto, membeli bekas istana Raja Ludwig di München.

Gedung empat lantai itu, yang sekarang menjadi kantor pusat perusahaan asuransi Allianz di kawasan prestisius Ludwigstrasse.

Baca Juga: Kisah Saat Bung Karno Tertipu oleh Raja Idrus dan Ratu Markonah yang Ternyata Palsu, Padahal Sudah Diliput Media Massa Besar-besaran, Kok Bisa?

Menurut dokumen OpenLux, gedung tersebut dibeli seharga 350 juta euro atau sekitar Rp 6 triliun.

Beli properti di Jerman lewat Cayman Islands

Sumber dokumen OpenLux salah satunya adalah keterangan dari anggota Parlemen Uni Eropa dari fraksi Partai Hijau, Sven Giegold.

Dia mengungkapkan, keluarga Sukanto Tanoto melakukan pembelian terselubung lewat beberapa perusahaan cangkang di Cayman Islands, Singapura, dan Luxembourg.

Baca Juga: Foto-foto Istana Putin Senilai Rp19 Triliun Dirilis Rivalnya Alexei Navalny, Ada Teater, Kasino, Hingga Klub Wanita Cantik

Dia menyebut, pembelian terselubung biasanya dilakukan untuk pengemplangan pajak atau pencucian uang dan sangat merugikan Jerman, Luxembourg dan Indonesia.

Otoritas di Jerman tidak mengetahui bahwa konglomerat sawit asal Indonesia itu yang membeli properti-properti tersebut, kata dia.

Organisasi lingkungan Greenpeace menyebut Sukanto Tanoto sebagai "sosok perusak hutan terbesar dunia" dan menuduh praktik bisnis minyak sawitnya terlibat berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan berbagai praktik penghindaran pajak.

Sven Giegold menekankan, praktik pengemplangan pajak merugikan bukan hanya Jerman dan Uni Eropa, melainkan juga Indonesia.

Baca Juga: Terbukti Bersalah, Mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak Didakwa Tujuh Dakwaan Langsung: Hadapi 140 Tahun Penjara, Belum Denda-dendanya

Di Jerman saja, kerugiannya mencapai lebih 20 miliar euro.

Investigasi dimungkinkan 'aturan transparansi' Uni Eropa Proyek OpenLux digalang oleh OCCRP, platform jurnalisme investigatif untuk mengungkap kasus-kasus kejahatan terorganisir dan korupsi skala besar, yang dalam proyek ini berkolaborasi dengan media Prancis Le Monde dan media Jerman Süddeutsche Zeitung (SZ).

Investigasi untuk pelacakan kepemilikan yang dibeli dengan konstruksi perusahaan cangkang dimungkinkan di Uni Eropa, setelah ditetapkan Aturan Transparansi pada 2018 untuk memerangi korupsi, pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Aturan ini mewajibkan negara-negara anggota Uni Eropa membuat daftar kepemilikan secara transparan yang memuat nama-nama pemilik properti dan usaha maupun pemegang saham.

Baca Juga: Malaysia Kena Getahnya, Jadi Dua Produsen Sawit Terbesar di Dunia, Pembeli Malah Blokir Produk Minyak Sawit dari Perusahaan Ini Setelah Tuduhan Kerja Paksa Mencuat

Investigasi OpenLux mengungkapkan, di Luxembourg saja ada sekitar 55 ribu perusahaan cangkang yang mengelola dana sampai 5 triliun euro.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait