Intisari-Online.com - Baru-baru ini, kembali terjadi kecelakaan pesawat di Indonesia, yaitu yang menimpa pesawat Sriwijaya Air SJ182.
Pesawat yang mengangkut setidaknya 62 penumpang tersebut berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Pontianak.
Namun, dikabarkan hilang kontak setelah 4 menit meninggalkan Bandara Soekarno-Hatta.
Penyebab jatuhnya pesawat Boeing 737-500 belum diketahui pasti, sementara pencarian masih terus dilakukan.
Peristiwa ini tentunya meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat Indonesia, khususnya keluarga korban.
Selain itu, kembali mencatatkan sejarah kelam penerbangan Indonesia.
Seperti diketahui, sering terjadi kecelakaan pesawat di Indonesia.
Sebelum Sriwijaya Air bernomor penerbangan SJ182 tersebut, pada 2018 silam, pesawat Lion Air JT-60 jatuh di Laut Karawang yang menewaskan 189 orang.
Pada 2015, Trigana Air Service Penerbangan 267 Jayapura- Oksibil jatuh di pegunungan sekitar Oksibil, Papua, di mana seluruh penumpang sekitar 54 orang tewas.
Sementara pada tahun 2014, Indonesia juga dihebohkan dengan jatuhnya pesawat AirAsia Indonesia penerbangan 8501 di Laut Jawa. Kecelakaa ini menewaskan seluruh penumpang dan awak yang berjumlah 162 orang.
Kecelakaan-kecelakaan pesawat tersebut belum seluruhnya.
Menurut data dari Aviation Safety Network dikutip Kompas.com, sebelum jatuhnya Sriwijaya Air SJ 182, ada 697 korban kecelakaan pesawat di Indonesia dalam 10 tahun terakhir, termasuk pesawat militer dan pribadi.
Media internasional Bussiness Times, dalam artikel berjudul 'Why Indonesia remains one of the world's worst places to fly' (8/12/2015), mengungkapkan beberapa faktor yang menyebabkan berbagai kecelakaan pesawat di Indonesia terjadi.
Seperti kegagalan komunikasi, tingginya jumlah penumpang, hingga masalah pemeliharaan.
Selain itu, faktor cuaca dan medan juga dijelaskan sebagai tantangan bagi penerbangan di Indonesia.
Dikatakan bahwa wilayah Indonesia memiliki salah satu insiden badai petir dan sambaran petir tertinggi di dunia.
Sebagai contoh, Kota Bogor pernah mengalami badai petir selama 322 hari dalam satu tahun pada tahun 1988.
Selain itu, letusan gunung berapi, yang melontarkan gumpalan abu ke udara yang dapat tersedot ke dalam mesin jet, dan menyebabkannya rusak.
Bahkan, maskapai membatalkan ratusan penerbangan masuk dan keluar dari Bali setelah Gunung Rinjani di dekatnya meletus pada Oktober dan November 2015.
Termasuk juga bahaya buatan manusia dari pembakaran ribuan hektar hutan hujan untuk pertanian, menciptakan awan asap yang menutupi sebagian besar Asia Tenggara tahun tersebut dan menunda atau membatalkan lusinan penerbangan.
Baca Juga: Sejarah Gambar Peta Dunia dan Seperti Ini Perkembangannya, Catat Ya!
Kejadian cuaca ekstrem di Indonesia dikatakan menjadi lebih umum, menurut ahli meteorologi setempat.
Kemudian, medan wilayah Indonesia juga menantang.
Dikatakan, Papua, lebih dari manapun, menunjukkan tantangan yang dihadapi para pilot di Indonesia.
Separuh pulau New Guinea di Indonesia adalah campuran yang menakutkan antara hutan terpencil dan pegunungan yang menjulang tinggi.
Daratannya menjulang dari rawa bakau pesisir ke pegunungan dengan puncak pulau tertinggi di dunia, Puncak Jaya, dan situs salah satu gletser tropis terakhir di dunia.
"Ada puluhan bandara di Papua dengan tanjakan terjal," kata Matt Dearden, seorang pilot komersial Inggris yang telah bekerja di Indonesia selama enam tahun.
"Beberapa bisa mencapai 30 derajat dan kondisinya tidak cocok untuk pilot baru dengan sedikit pengalaman", katanya.
Ketika sebuah pesawat baling-baling ganda PT Trigana Air Service menghilang di Papua pada bulan Agustus, butuh dua hari sebelum tim penyelamat menemukan dan mencapai lokasi kecelakaan di hutan.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari