Intisari-Online.com - Berita hilangnyapesawat Sriwijaya Air SJ 182 masih menjadi pembicaraan di seluruh media Indonesia.
Dilaporkan pesawat inihilang kontakdi antara Pulau Laki dan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu, pada Sabtu lalu sekitar pukul 14.40 WIB atau 4 menit setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.
Pesawat mengangkut 62 jiwa. Rinciannya, 6 kru aktif plus 56 penumpang (46 dewasa, 7 anak, dan 3 bayi).
Lalu bagaimana tanggapan media luar?
Ternyata yang menjadi sorotan dunia adalah bisnispenerbangan Indonesia.
Apa yang terjadi dengan Sriwijaya Air menandai kecelakaan besar ketiga yang melibatkan maskapai penerbangan di Indonesia dalam enam tahun terakhir.
MelansirReuters, sebelum kecelakaan itu terjadi, ada 697 korban jiwa di Indonesia selama satu dekade terakhir termasuk kecelakaan pesawat militer dan swasta.
Menurut database Jaringan Keselamatan Penerbangan, angka ini menjadikan Indonesia sebagai pasar penerbangan paling mematikan di dunia - di depan Rusia, Iran, dan Pakistan.
Dalam artikelnya berjudulSriwijaya Air crash places Indonesia's aviation safety under fresh spotlight,Reutersmemberitakan catatan keselamatan udara Indonesia telah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.
Salah satunya dengan menerima evaluasi yang baik dari badan penerbangan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2018.
"Kecelakaan hari Sabtu tidak ada hubungannya dengan MAX."
"Tetapi Boeing sebaiknya memandu Indonesia - yang memiliki catatan keselamatan udara buruk - untuk memulihkan kepercayaan pada industri penerbangannya," kata Shukor Yusof, kepala konsultan penerbangan yang berbasis di Malaysia kepadaReuters.
Pihak berwenang menemukan perekam data penerbangan pesawat Sriwijaya dan perekam suara kokpit pada hari Minggu.
Tetapi para ahli mengatakan masih terlalu dini untuk menentukan faktor-faktor yang bertanggung jawab atas jatuhnya pesawat yang berusia hampir 27 tahun itu.
Beragam faktor
Sementara,Bloomberglewat artikel berjudulJet Crash Adds to Long List of Aviation Disasters in Indonesia, membahas soal catatan keamanan penerbangan yang buruk di Indonesia.
MelansirBloomberg,pakar asing menilai, ada beberapa penyebab seringnya pesawat di Indonesia jatuh. Pertama adalah usia pesawat.
Menurut data armada di Planespotters.net, usia rata-rata armada Boeing Sriwijaya adalah sekitar 17 tahun.
Perhitungan Bloomberg menunjukkan, tidak termasuk Boeing 737-900 yang melakukan penerbangan pertamanya pada tahun 2014, usia armada rata-rata mencapai hampir 19 tahun.
Bandingkan dengan usia rata-rata armada PT Garuda Indonesia yaitu 8,3 tahun.
“Kami belum tahu apa yang menyebabkan insiden itu,” kata Shukor Yusof, pendiri perusahaan konsultan penerbangan Endau Analytics di Malaysia seperti yang dilansirBloomberg.
Faktor kedua adalah cuaca.
MengutipBloomberg, Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki salah satu insiden badai petir dan sambaran petir tertinggi di mana pun.
(Kota Bogor pernah mengalami badai petir selama 322 hari dalam satu tahun pada tahun 1988)
Ketiga, ada juga faktor letusan gunung berapi, yang membuang gumpalan abu ke udara yang dapat tersedot ke mesin jet, sehingga menyebabkannya rusak.
Pada 2019, bandara Bali membatalkan dan mengalihkan sejumlah penerbangan menyusul letusan Gunung Agung, yang memuntahkan abu di selatan pulau.
Keempat, dengan pemanasan global, kejadian cuaca ekstrim menjadi lebih umum terjadi.
Penerbangan Sriwijaya 182 ditunda sekitar satu jam karena kondisi yang memprihatinkan.
Sementara itu,Channelnewsasia.comjuga mengulas kecelakaan Sriwijaya Air lewat artikel berjudul SriwijayaAir crash places Indonesia's aviation safety under fresh spotlight.
CNAmemberitakan, menurut situs pelacakan FlightRadar24, pesawat Sriwijaya Air lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, dan langsung jatuh ke laut.
Jet Sriwijaya naik ke ketinggian 10.900 kaki dalam waktu empat menit tetapi kemudian mulai turun tajam dan berhenti mengirimkan data 21 detik kemudian.
"Ada banyak pendapat tentang kecepatan penurunan terakhirnya," kata Geoff Dell, pakar investigasi kecelakaan udara yang berbasis di Australia.
"Ini adalah indikasi dari apa yang terjadi."
"Akan tetapi, mengapa itu terjadi masih merupakan tebakan."
"Ada banyak cara untuk membuat pesawat turun dengan kecepatan seperti itu."
Dell mengatakan, penyelidik akan melihat faktor-faktor termasuk kegagalan mekanis, tindakan pilot, catatan perawatan, kondisi cuaca, dan apakah ada gangguan yang melanggar hukum dengan pesawat.
Sebagian besar kecelakaan udara disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor yang perlu waktu berbulan-bulan untuk ditetapkan.
Tak hanya itu, catatan operasi Sriwijaya juga akan diawasi.
"Catatan keamanannya beragam," kata Greg Waldron, editor pelaksana Asia di publikasi industri FlightGlobal.
Dia mengatakan, maskapai tersebut telah mengandangkan tiga pesawat 737 antara 2008 dan 2012 karena pendaratan yang buruk yang mengakibatkan runway overruns, dengan kecelakaan tahun 2008 yang mengakibatkan satu kematian dan 14 cedera.