Intisari-Online.com - Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Mungkin peribahasa di atas cocok menggambarkan kondisi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Setelah kalah dari Pemilihan Presiden AS pada November 2020 kemarin, Trump dikabarkan akan kehilangan jabatannya lebih cepat.
Ini karena kerusuhan di Capitol Hill yang dilakukan oleh pendukungnya.
Tak sampai disitu, Trump juga harus mewaspadai Irak.
Dilansir dariexpress.co.uk pada Jumat (8/1/2021),pengadilan Irak dilaporkan telahmengeluarkan surat perintah penangkapan Donald Trump setelah dituduh melakukan pembunuhan berencana.
Di mana pembunuhan berencana di Irak adalahsebuah kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman mati di negara bagian Timur Tengah.
Surat perintah itu dikeluarkan terkait dengan pembunuhan jenderal militer Iran Qasem Soleimani dan pemimpin Irak Abu Mahdi al-Muhandis tahun lalu.
Surat perintah penangkapan dikeluarkan hari ini oleh pengadilan di Baghdad, Irak.
Trumptelah dituduh melakukan pembunuhan berencana, yang membawanya ke hukuman mati di Irak.
Dewan Kehakiman Tertinggi Irak mengatakan mereka mengeluarkan surat perintah tersebut setelah hakim mencatat pernyataan penggugat dari keluarga Abu Mahdi al-Muhandis.
Surat penangkapan itu berbarengan dengan kerusuhan diWashington.
Di manapara pendukung Trump menyerbu Capitol AS sebagai protes atas konfirmasi hasil pemilu.
Para pengunjuk rasa kemudian bentrok dengan polisi, hingga membuat korban jiwa dan puluhan lainnya terluka.
Melihat kondisi AS,Presiden Iran mengatakan itu membuktikan kelemahan demokrasi Barat.
Sementara para pejabat di China dan Rusia membandingkan penyerbuan itu dengan protes di Hong Kong dan Ukraina.
Hassan Rouhani mengatakan dalam pidatonya di televisi: "Apa yang terjadi di Amerika menunjukkan betapa gagal demokrasi Barat."
"Seorang pria populis merusak reputasi negaranya."
Itu terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara Iran dan Barat.
Awal pekan ini, Menteri Luar Negeri Dominic Raab mengutuk pelanggaran "serius dan merusak" dari kesepakatan nuklir Iran.
Minggu ini Iran mulai memperkaya uranium ke tingkat yang tidak terlihat sejak kesepakatan 2015 yang mengurangi sanksi dengan imbalan Teheran setuju untuk mengekang ambisi nuklirnya.
Raab mengatakan dimulainya pengayaan uranium Teheran hingga 20% "berisiko membahayakan peluang penting untuk kembali ke diplomasi" dengan pemerintahan AS yang baru.
"Iran tidak boleh memperoleh senjata nuklir," ungkapRaab.
Kesepakatan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) tampak semakin rapuh sejak Presiden Donald Trump menarik Amerika Serikat keluar dari kesepakatan itu pada 2018.
Inggris, Prancis dan Jerman - yang bersama dengan China dan Rusia tetap menandatangani kesepakatan itu - mengatakan langkah terbaru Iran adalah "pelanggaran yang jelas" atas perjanjian itu.