Intisari-online.com -Terpilihnya Joe Biden menjadi presiden AS telah membuat banyak pihak merasa tenang.
Terutama sekutu dari Amerika Serikat, NATO.
Setelah empat tahun masa tidak jelas dengan Donald Trump, kemenangan Biden bisa dianggap masa tenang bagi NATO.
Banyak para menteri luar negeri dan menteri pertahanan Eropa tampak tenang dengan prospek Biden membenahi kebijakan luar negeri AS.
Namun persekutuan berumur 71 tahun itu, layaknya yang disebut oleh Presiden Perancis Emmanuel Macron, perlu obat lebih kuat daripada sekedar pengembalian status quo.
NATO tidak bisa terus-terusan mengandalkan Amerika Serikat terus, karena saat AS runtuh, NATO pun akan kesulitan berjalan.
Penelitian baru yang dilaksanakan oleh Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg, meminta pembaruan dan reformasi.
Stoltenberg menggarisbawahi fokus baru dalam rangka tantangan China.
Penelitian dengan total 70 halaman itu berisi 138 rekomendasi rinci, berjudul "NATO 2030: Bersatu untuk Era Baru," sebuah laporan garapan Reflection Group, kelompok independen.
Nyatanya, laporan itu merupakan cahaya yang merincikan rencana yang perlu dilaksanakan untuk menanggulangi China.
Beberapa rekomendasi itu tidak perlu dipikirkan dan beberapa tidak jelas.
Namun, anggota NATO harus menolak setiap upaya untuk secara substansial mengubah orientasi aliansi untuk melawan China.
NATO sendiri kekurangan perlengkapan militer, tidak ada kemauan masyarakat dan kurangnya keharusan strategis untuk mengarahkan pandangannya ke timur Suez .
Tugas menghadang China tidak sesuai dengan Angkatan Laut NATO.
Memang benar Inggris sudah habiskan sebagian besar anggaran pertahanannya untuk sepasang kapal induk konvensional tanpa ketapel, serta F-35B untuk masuk dalam Angkatan Laut mereka.
Yang paling lemah adalah Angkatan Laut Jerman, Deutsche Marine, tapi banyak angkatan laut NATO yang memiliki standar tinggi, reputasi pelayaran baik dan kapal canggih dan hemat biaya.
Hanya saja, kapasitasnya tidak bisa mengungguli kemampuan itu semua.
Royal Navy, angkatan laut Inggris, telah mengirimkan 23 kapal perang, tapi tidak mampu mengisi kapal itu dengan sejumlah pasukan yang ada.
Dalam konflik Atlantik Utara, NATO hanya bisa mengirimkan 6 kapal selam saja, meskipun situasi telah meningkat sejak saat itu.
Tahun 2018, persekutuan itu hanya bisa mengandalkan satu pesawat pengawas maritim di Atlantik Utara, padahal mereka harus menghadapi Angkatan Laut Rusia.
Berulang kali NATO telah tunjukkan mereka gagal lakukan misi 'di luar kandang'.
Komitmen dua puluh tahun di Afghanistan adalah contohnya, dan meskipun beberapa pasukan NATO (Inggris, Kanada, Denmark, dan Perancis) bisa bertempur dengan baik, kontingen itu justru pecah oleh penghindaran risiko dan peringatan nasional yang mencegah mereka mencapai banyak hal.
Times of London melaporkan jika di tahun 2009, Italia benar-benar membayar Taliban untuk mencegah pasukannya dianiaya.
Bahkan di Libya saja, NATO berjuang menuntut perang udara terbatas.
Di tahun 2011 dari 28 negara anggota hanya delapan yang memilih untuk berpartisipasi, mereka pun kehabisan amunisi atau suku cadang.
Anggota NATO banyak yang menolak melakukan kerja keras penjaga perdamaian setelah Muammar Qaddafi digulingkan.
Oleh sebab itu, Libya sekarang masih terlibat dalam perang saudara, dan luka terbuka keamanan di pintu Eropa.
Antusiasme itu pun lebih rendah lagi saat untuk urusan China, karena kurangnya keinginan Eropa untuk menghadapi China.
Stoltenberg mungkin umumkan jika China tidak memiliki nilai yang dijunjung NATO, tapi selain retorika itu, hanya ada sedikit bukti jika NATO ingin bertarung dengan China.
Bahkan negara Eropa Barat yaitu Italia rupanya salah satu peserta Belt and Road Initiative China, sementara beberapa anggota aliansi mendapat keuntungan dari investasi infrastruktur China di Balkan.
Jajak pendapat yang ditulis September 2019 oleh Dewan Eropa Hubungan Luar Negeri (ECFR) menemukan hanya 10% warga Jerman berpikir negara mereka harus berpihak kepada AS dalam urusan ketegangan bilateral tersebut.
Lebih dari 70% berpendapat Jerman harus tetap netral, sementara 13 negara Eropa lain menunjukkan sentimen serupa.
Eropa sedikit terlambat sadar bahayanya mengandalkan jaringan 5G dari Huawei, dan virus Corona membuat Eropa akhirnya jadi curiga dengan China.
Itulah sebabnya NATO tidak akan menyeret Eropa dalam kompetisi dengan China yang mana mereka sendiri tidak termotivasi untuk melakukannya.
NATO akan memfasilitasi yang terbaik untuk semua anggotanya, termasuk AS, dengan mempertahankan fokus mereka terhadap ancaman keamanan yang dihadapi Eropa.
Isu Rusia tetap menjadi yang utama, sementara anggota NATO yang terlibat di Timur Tengah seperti Perancis dan Italia berusaha meningkatkan pengaruh untuk mengurangi terorisme dan migrasi massal daripada isu Rusia.
Pasukan Perancis laksanakan kampanye kontra-pemberontakan di Mali, sementara sejumlah negara NATO menyediakan pasukan, pesawat, dan sumber daya untuk kampanye kontra-ISIS yang saat ini dibatasi di Irak dan Suriah.
Kesimpulannya, NATO sendiri belum menganggap jika China bukanlah ancaman utama untuk saat ini.
Meski begitu, jika China mulai goyang benua biru, NATO memilih akan mengandalkan Amerika Serikat untuk menghadapinya.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini