Intisari-online.com -Sejak gencatan senjata yang diusulkan Rusia disepakati Ilham Aliyev dan Nikol Pashinyan, pertempuran Nagorno-Karabakh resmi berakhir.
Gencatan senjata itu ditandatangani pada 9 November, mengakhiri pertempuran yang berlangsung sejak 27 September.
Konflik terhitung terjadi dalam waktu yang singkat, membuat perhatian banyak pihak tidak bisa mengabaikan pertempuran itu.
Pasalnya, konflik antara Armenia dan Azerbaijan sudah ada sejak 30 tahun lamanya, tepatnya segera setelah keduanya pecah dari Uni Soviet.
Segera setelah itu keduanya memperebutkan wilayah Nagorno-Karabakh.
Meskipun secara administrasi Karabakh menjadi milik Azerbaijan, tapi Armenia merasa patut memiliki wilayah itu atas sentimen dendam sejarah akibat Perang Dunia Pertama.
Beberapa kali ketegangan memuncak pernah terjadi, tapi tidak pernah ada yang separah pertempuran 44 hari itu.
Itulah sebabnya banyak pihak yang tercengang karena rupanya konflik puluhan tahun bisa selesai kurang dari dua bulan saja.
Hebatnya lagi, konflik itu terjadi antara dua negara yang memiliki kemampuan militer yang sama hebatnya.
Kedua belah pihak memiliki teknologi militer yang mutakhir, tapi Azerbaijan menjadi negara yang memenangkan perang singkat itu.
Itulah sebabnya, dampak dari konflik ini akan terus bergema di luar wilayah.
Bahkan meskipun konflik itu sepenuhnya sudah selesai, kini negara-negara besar malah sibuk membahasnya untuk mempelajari medan perang modern.
Mengutip Moscow Times, kini pembelajaran dari perang Azerbaijan dan Armenia menjadi pembelajaran baru bagi negara-negara adidaya.
Kesuksesan Azerbaijan menggunakan drone terbukti menjadi sensasi taktis.
Namun, banyak desas-desus adanya pengorbanan jika memajukan sistem drone, maka pertahanan udara akan lemah sampai tidak dapat mendukung pasukan darat.
Tetap saja, penggunaan sistem pesawat tanpa awak (UAS) atau drone di konflik ini menandai evolusi perang daripada revolusi penggunaan senjata udara.
Banyak militer negara lain mulai belajar dari perang seperti Nagorno-Karabakh untuk mempelajari kemampuan, doktrin, seni operasi dan bagaimana pasukan mereka mungkin menghadapi tantangan yang mirip atau bahkan berperang dengan yang lebih canggih.
Militer Amerika Serikat menjadi salah satu yang sedang mencari definisi konflik, layaknya pada Perang Arab-Israel tahun 1973, untuk membentuk arah investasi masa depan.
Selain belajar dari Armenia-Azerbaijan, AS juga mempelajari konflik Rusia dengan Ukraina.
Dalam hal kemampuan, tampak jelas jika sistem operasi remote seperti drone menawarkan keuntungan kekuatan udara, sensor dan senjata tepat sasaran untuk negara dengan militer 'mediocre'.
Kemampuan itu dijual murah kepada mereka dibandingkan dengan jet tempur yang harus dioperasikan pilot dan terhitung mahal.
Teknologi jet tempur menyebar jauh lebih cepat daripada yang diperkirakan pembuatnya, atau sistem pertahanan udara akhirnya menyesuaikan diri bersiap melawan sistem itu sehingga akhirnya akan lebih siap lagi.
Namun untuk drone, ada tantangan pasti untuk pertahanan udara modern dan pasukan darat.
Konflik Nagorno-Karabakh membantu menyelesaikan pertanyaan mengenai apakah warisan pertahanan udara seperti sistem lawas Soviet yang dipakai Armenia bisa melawan drone perang.
Jawabnya sudah sangat jelas, sistem itu sudah usang, lebih-lebih ketika kombinasi drone digunakan untuk menarget dan menyerang.
Sementara itu melihat sistem pertahanan udara memang memiliki beberapa performa apik, tapi itu tidak selamanya.
Tercatat sejumlah senjata Rusia Pantsir-S1s Rusia telah hancur di konflik lainnya, sementara senjata Turki drone TB2 juga sudah hancur di Libya.
Ini semua dapat disimpulkan jika keunggulan drone masih dipengaruhi sistem, operator dan konteksnya.
Baca Juga: Pesawat Tanpa Awak Makin Ungguli Jet Tempur, Ini Daftar 10 Drone Tempur Terbaik di Tahun 2020
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini