Intisari-online.com -Baru-baru ini, 10 negara anggota Asean dan lima negara Asia-Pasifik: China, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru sepakat tandatangani perjanjian perdagangan antara masing-masing anggota.
Pakta baru tersebut bernama Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan menjadi perjanjian antara negara-negara yang menyumbang 30% dari populasi dan produk domestik bruto dunia.
Dilansir dari Daily Sabah, RCEP tidak selengkap perjanjian yang sebelumnya diusulkan, Trans-Pacific Partnership (TPP).
TPP awalnya mengajak Amerika Serikat, tapi oleh administrasi Donald Trump, AS ditarik dari usulan TPP pada 2017 lalu.
Kini, RCEP jadi lebih unggulan daripada TPP.
Sekilas saja, kemitraan tersebut tampak seperti meningkatnya pengaruh China di wilayah itu.
Namun sebenarnya, perjanjian kemitraan banyak negara Asia yang disepakati setelah negosiasi 8 tahun merupakan kesepakatan antara negara-negara dengan nilai yang beragam dan sistem ekonomi-politik berbeda-beda, memanjang dari perbatasan Kazakhstan sampai Pasifik Selatan.
Tetap saja, RCEP bisa dianggap alternatif China menggantikan TTP yang melibatkan negara Asia kecuali China.
Kini, dengan China memainkan peran penting dalam pengatur kerjasama dan RCEP menjadi perjanjian perdagangan multilateral regional pertama yang disepakati oleh Beijing, strategi jangka panjang dan dampak geopolitik sudah tidak mengherankan lagi.
Lagipula, perjanjian perdagangan tidak pernah hanya fokus untuk perdagangan saja, selalu ada hasil politik lebih besar.
Ini sebabnya sentimen anti-China bisa merumitkan ratifikasi perjanjian di beberapa parlemen nasional negara anggota.
Keadaan hubungan yang tidak nyaman antara China-Australia dan China-Jepang juga dipertanyakan banyak orang apakah mengganggu perjanjian tersebut.
Selanjutnya, pengaruh sebenarnya adalah tekanan psikologis RCEP ke kemitraan lain.
Dengan blok perdagangan tidak mengajak AS dan Uni Eropa, dan akan lebih besar daripada Kesepakatan AS-Meksiko-Kanada serta Uni Eropa sendiri, dunia Barat sekarang mulai ketar-ketir mengenai dampak perjanjian itu.
Sudah bukan perdebatan lagi jika sebagian besar aktivitas global sekarang meningkat terjadi di bumi belahan timur, artinya Asia mulai bangkit, pertumbuhan ekonomi bisa diharapkan mulai terjadi untuk Asia dan perubahan geopolitik mulai terjadi.
Meskipun AS terus-terusan menentang, investasi langsung dari China dan perdagangan dengan China terus-terusan tumbuh setiap tahun.
Lantas bagaimana Uni Eropa menghadapi ini?
Mereka tidak bisa lagi mengharapkan bantuan AS selamanya, karena nyatanya AS kewalahan menghadapi China.
Uni Eropa dihadapkan pilihan sulit mengenai sanksi atas sekutu NATO mereka, Turki.
Turki selama ini dianggap sebagai 'tetangga jahat', sehingga banyak negara Eropa yang tetap ingin Turki dihukum terutama karena Ankara tidak menuruti peraturan dari mereka.
Peran Turki di Suriah, Libya dan Timur Tengah mengganggu beberapa negara Uni Eropa, terutama Perancis, Yunani dan administrasi Cyprus.
Menurut mereka, tindakan Turki harus dihentikan, tapi Uni Eropa hanya menonton dan tidak berbuat apa-apa.
Hal ini terjadi karena banyak negara Uni Eropa lain yang memiliki investasi penting di Turki, sehingga Perancis dan Yunani tidak mendapatkan teman.
Turki juga selama ini dituduh mensenjatai pengungsi melawan Eropa, tapi faktanya, Ankara yang lebih sering terancam dengan sanksi oleh sekutu Barat.
Hanya Kanselor Jerman Angela Merkel yang sadar pentingnya Turki untuk Uni Eropa dan mendorong untuk memperbaiki hubungan agar masa depan Uni Eropa baik-baik saja.
Ia mendesak hubungan normal antara Uni Eropa dan Turki dan termasuk kerjasama dalam hal migrasi serta masalah bersama lainnya.
Dengan geopolitik dunia mulai berubah, Uni Eropa seharusnya sadar mereka membutuhkan lebih banyak sekutu agar bisa ungguli kekuatan yang mulai tumbuh di Timur.
Pasalnya, jika Uni Eropa terus-terusan bertindak demikian kepada Turki, Turki bisa dengan mudah memulai persekutuan dengan negara-negara Asia.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini