Advertorial
Intisari-online.com -Alarm peringatan kesehatan mental warga Jepang selama pandemi Covid-19 sudah berbunyi sejak pertengahan musim panas lalu.
Pendiri layanan konseling online di Jepang, Koki Ozora mengatakan sudah banyak warga jepang, utamanya wanita muda menggunakan jasanya.
"Pada Juli, kami mulai mendapat banyak pesan dari orang-orang yang mengatakan mereka ingin bunuh diri," katanya kepada CBS News.
Ozora, 21 adalah seorang mahasiswa jurusan Sosiologi di Universitas Keio elit Tokyo.
Ia meluncurkan layanan pesan teksnya pada bulan Maret. Ini adalah subjek yang ia kenal sebab sebelumnya ia selamat dari percobaan bunuh diri berkat intervensi dari seorang guru sekolah menengah yang siaga.
Sadar bahwa permintaan untuk konseling memuncak ketika kebanyakan hotline ditutup, pada larut malam, Ozora merekrut jaringan relawan Jepang yang tinggal di luar negeri, yang dapat menanggapi pesan sepanjang malam waktu Jepang.
Pada 3 November, layanannya telah mengirimkan lebih dari 300.000 pesan dari hampir 26.000 klien di Jepang.
"Ada sejumlah hotline seperti kami, tapi kebutuhannya sangat besar," katanya. "Terlalu banyak panggilan yang harus kita tangani."
Adapun, Psikiater Tokyo Chiyoko Uchida melihat banyak klien wanita tertekuk di bawah beban yang ditimbulkan oleh pandemi virus corona.
"Kehidupan pasien saya telah terbalik," katanya kepada CBS News.
Kasus bunuh diri dilaporkan merenggut lebih banyak orang di "Negeri Sakura" daripada pandemi Covid-19.
Sebelum pandemi, kasus bunuh diri terus terjadi pada pria Jepang. Mereka cenderung tidak mencari bantuan.
Laki-laki menyumbang sekitar dua pertiga dari 2.158 kematian yang disebabkan oleh diri sendiri, yang tercatat pada Oktober menurut statistik Kementerian Kesehatan yang dirilis minggu lalu.
Kasus bunuh diri pria meningkat lebih dari 20 persen pada bulan lalu, dibandingkan bulan yang sama di 2019.
Namun tingkat kasus bunuh diri wanita melonjak lebih dari 80 persen, melanjutkan peningkatan mengerikan yang dimulai pada Agustus.
Wanita yang lebih muda - terlalu banyak bekerja paruh waktu dan non-reguler - telah dirugikan secara tidak proporsional oleh pemutusan hubungan kerja dan penutupan akibat pandemi di Jepang.
Dalam survei yang dilakukan oleh Profesor Michiko Ueda dari Universitas Waseda Tokyo, sepertiga wanita di bawah 40 tahun melaporkan kehilangan pekerjaan.
Pendapatan mereka turun signifikan, dibanding 18 persen dari rekan pria mereka. O
zora, pendiri Anata no Ibasho (Tempat Anda), yang menawarkan konseling gratis melalui pesan teks – mengungkap kemungkinan salah satu alasan pelanggan organisasi condong ke remaja dan 20-an.
"Alasan terbesar adalah perempuan kehilangan pekerjaan dan tidak tahu bagaimana menghidupi diri mereka sendiri dan keluarga mereka," katanya kepada CBS News.
Karena secara historis tingkat kematian akibat perbuatan sendiri yang tinggi, Jepang telah mengembangkan sistem yang sangat cepat, akurat, dan terperinci untuk melacak kasus bunuh diri.
Angka bulanan yang dikeluarkan dalam beberapa minggu, merupakan data awal dan sangat suram bagi Jepang.
Para ahli mengingatkan munculnya dampak yang sama di negara-negara lain.
Lockdown Covid-19 yang kejam banyak disalahkan karena meningkatkan ide bunuh diri di negara lain.
Sementara pembatasan virus di Jepang relatif lunak. Pemerintah mengandalkan kepatuhan sukarela, tanpa hukuman.
"Pesan yang ingin saya ambil adalah jika dampak pandemi jauh lebih ringan dan kita masih melihat efek besar bunuh diri ini bisa terjadi di mana saja," kata Ueda.
Para ahli menyatakan bagi mereka yang berhasil mempertahankan pekerjaan mereka, teleworking dalam waktu lama telah berdampak besar pada kesehatan mental.
"Sementara beberapa orang senang bekerja dari rumah, ada sejumlah kerugian," menurut Uchida, psikiater Tokyo.
Tidak berada di kantor artinya tidak memiliki seseorang di dekat Anda saat Anda perlu melampiaskannya.
Bekerja dari jarak jauh juga membuat lebih sulit untuk mendapatkan bimbingan dari supervisor, tambahnya.
"Baik atau buruk, umpan balik atas pekerjaan Anda bisa menjadi sumber harga diri."
Terkait pandemi atau tidak, serentetan bunuh diri selebritas tahun ini telah memperburuk lonjakan kematian yang diakibatkan oleh diri sendiri di kalangan wanita, menurut Profesor Ueda.
Penelitiannya menunjukkan bahwa pada hari bunuh diri selebriti menjadi berita, kematian yang dilakukan sendiri melonjak sebanyak 6%.
Efeknya bertahan selama berhari-hari.
(Bernadette Aderi Puspaningrum)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kasus Bunuh Diri Melonjak Selama Covid-19, Jepang Peringatkan Dunia"
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini