Advertorial
Intisari-online.com -Taktik yang licik dan terkadang manipulatif sudah sering digunakan pemimpin negara kontroversial seperti Xi Jinping, Vladimir Putin ataupun Kim Jong-Un untuk agenda propaganda.
Baik propaganda dalam negaranya sendiri atau untuk melawan negara lain, taktik psikologi itu tidak pernah gagal.
Seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh pemimpin China, Xi Jinping.
Mengutip South China Morning Post, Xi Jinping di akhir bulan lalu menandai 70 tahun perayaan dimulainya Perang Korea.
Banyak yang sebutkan langkah yang ia lakukan adalah untuk memberi penghormatan kepada legiun tentara China yang terlibat dalam konflik tersebut.
Namun bukan hanya itu tujuan Xi sesungguhnya.
China sedang memiliki hubungan terburuk dengan AS saat ini, dan Xi berniat untuk membangkitkan 'semangat' tentaranya untuk kian bersaing dengan AS.
Untuk lakukan hal itu, ia menggarisbawahi bahwa AS adalah penyebab perang Korea.
Hal tersebut kemudian ia kaitkan dengan keterlibatan tentara China di semenanjung itu untuk melawan tentara AS.
Dalam pidatonya di Great Hall of the People di Beijing pada 23 Oktober lalu, Xi mengatakan "tujuh puluh tahun lalu, penyerang imperialis telah tembakkan senjata kepada China modern.
"Warga China paham jika Anda harus gunakan bahasa yang bisa dipahami oleh para penyerang, untuk melawan perang dengan perang dan menghentikan serangan dengan pasukan yang kuat, meraih kedamaian dan kehormatan melalui kemenangan."
Sudah beberapa kali China menyinggung hegemoni mereka dalam Perang Korea.
Namun hegemoni itu tidak selamanya benar, karena dari sisi Korea Selatan, perang dimulai saat ada invasi tentara Korea Utara pada Juni 1950.
Hal itu menyebabkan Washington dan sekutunya mulai memasuki arena perang.
Beberapa puluh tahun belakangan, China telah menyebutkan betapa pentingnya mereka dalam konflik tersebut, untuk menarik ikatan ekonomi lebih kuat dengan seluruh dunia.
Namun perayaan tersebut telah mencapai level baru, karena China telah hampir gagal dalam ketegangan dengan AS atas perdagangan, teknologi dan ketegangan diplomasi.
Meski begitu, hal ini juga bisa menjadi strategi yang mengancam ikatan Beijing dan Seoul.
Seoul telah menyebutkan untuk Xi menghentikan komentar tersebut, seperti yang disebutkan oleh para pakar.
Panggilan itu datang dari sidang dengar parlemen Korsel Senin lalu saat pembuat undang-undang konservatif mengatakan pemerintahan Moon Jae-In harus mengambil tindakan tegas atas klaim China dari penyebab perang Korea.
Kim Gi-Hyeon, mengatakan kepada Menlu Kang Kyung-Wha jika pemerintah jadi lembek atas pidato Xi.
"Saat Jepang menyinggung dan mengaburkan sejarah perng itu, pemerintah dengan cepat marah dan memanggil duta besar Jepang.
"Namun sekarang mengapa jadi lembek sekali terhadap China?" ujar Kim.
Menlu Kang sendiri mengatakan dalam sidang dengar tersebut jika pidato Xi tunjukkan pengaburan sejarah dari perspektif Seoul.
Sedangkan Menteri Pertahanan Nasional Suh Wook juga mengatakan bahwa "jelas-jelas Korea Utara menyerang Korea Selatan dahulu, di bawah arahan Stalin dan Mao Zedong."
Namun di tingkat diplomasi, respon Seoul atas pidato tersebut telah dibungkam.
"Kami jelas-jelas berkomunikasi atas posisi kami kepada China dan mengambil langkah yang diperlukan," ujar Kang dalam sidang dengar tersebut tanpa menjelaskan lebih jauh.
Rupanya, ada sebabnya Seoul bungkam atas pidato Xi tersebut.
China telah menjadi partner dagang terbesar Korea Selatan, sejak 2018, perdagangan antar dua negara mencapai angka 136,2 miliar Dolar AS.
Angka itu hampir dua kalinya antara Korea Selatan dan AS.
Namun hubungan itu tidak selamanya stabil, pada musim panas 2016, Korea Selatan hadapi serangan dagang dari pemerintah China yang sentimen terhadap produk-produk Korea Selatan.
China memboikot produk Korea Selatan, industri wisata dan K-pop mereka.
Boikot tersebut merupakan respon China atas keputusan mantan presiden Korea Selatan Park Geun-hye untuk memasang sistem anti-rudal AS yang disebut AS dapat digunakan oleh tentara AS untuk memata-matai China.
Tidak sampai setahun hal tersebut didamaikan oleh presiden baru, Moon Jae-In.
Direktur Pusat Studi China di Institut Sejong, think tank Seoul, Lee Seong-hyun, mengatakan kebijakan luar negeri Moon telah ditandai sebagai upaya memperbaiki hubungan dengan China.
Namun abai atas pidato Xi membuat posisi Moon semakin sulit.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini