Penulis
Intisari-online.com -Semenjak Donald Trump menjabat Presiden pertama kali dimulai tahun 2016 lalu, Amerika Serikat (AS) telah mulai terasa tidak signifikan bagi banyak negara.
Kontras dengan status mereka sebagai negara adidaya, AS mungkin semakin redup dan Donald Trump menjadi salah satu faktornya.
Hal tersebut kemudian semakin tampak jelas setelah China perlahan bangkit.
Memang bukan suatu kebetulan jika saat AS semakin redup, posisi negara adidaya segera diincar oleh China.
Seperti yang dipaparkan oleh pakar ini.
Minxin Pei, Profesor Pemerintahan di Universitas McKenna Claremont, serta rekan senior di German Marshall Fund di AS, menjelaskan dalam setahun terakhir saja Trump telah menjadi hadiah bonus bagi China.
Bagi China, Donald Trump bagaikan stok permen yang terus-terusan memberikan mereka keuntungan.
Dimulai dari responnya yang salah kaprah menanggulangi pandemi Covid-19.
Cara penanggulangannya telah membuat China, yang sempat kewalahan hadapi wabah awal tahun ini, menjadi contoh pemerintahan yang efektif.
Lebih dari itu, kebijakan luar negeri Trump yang menempatkan Amerika lebih dahulu telah membuat sekutu lawas AS segan untuk terus berhubungan dengan AS.
Akibatnya, tidak akan terbangun koalisi bersama untuk melawan China.
Memang Trump telah kirimkan hembusan menyakitkan kepada Presiden China Xi Jinping.]\
Perang dagang dan teknologinya telah menghapus hubungan perdagangan AS-China.
Langkah administrasinya untuk mendukung Taiwan juga telah membuat Xi Jinping berang bukan main.
Namun Xi Jinping setidaknya masih bisa lebih jumawa lagi setelah pemilihan presiden AS 3 November besok.
Dan apa sebabnya?
Tidak terhindarkan, pemilu AS besok bisa jadi timbulkan kekacauan baru.
Menjelang referendum tentang kepresidenannya ini, Trump berulang kali menolak untuk berkomitmen dengan tegas untuk menerima hasilnya.
Ia telah menggunakan serangan-serangan kepadanya untuk mencoba mendelegitimasi pemungutan suara melalui surat.
Trump bahkan gunakan cara mendominasi Mahkamah Agung AS menjadi mayoritas konservatif 6-3 setelah konfirmasi calon hakim baru, Amy Coney Barrett, akan campur tangan dan bisa saja memberikannya masa jabatan kedua.
Hasil poling opini terbaru tunjukkan kemenangan nyata bagi kandidat Demokrat, mantan Wakil Presiden Joe Biden.
Namun ajang pemilihan presiden ini kemungkinan akan menjadi lebih ketat, dan bahkan jika Trump tertinggal dari Biden dalam suara populer secara keseluruhan, hasil dari poling negara bagian yang akan menentukan pemenang Presiden AS selanjutnya.
Hal itu menimbulkan celah bagi Trump dan Partai Republik, untuk menggunakan kendali mereka atas banyak tuas kekuasaan untuk tetap ada di Gedung Putih.
Memang banyak skenario penuh mimpi buruk dari pemilu 3 November mendatang, yang tentunya akan merusak demokrasi AS secara permanen.
Namun hal itu bisa menjadi hal yang paling membahagiakan bagi Partai Komunis di China.
Secara ideologis, kehancuran pemilu AS akan melibatkan litigasi tanpa henti yang bisa dimanfaatkan menjadi bahan propaganda bagi Partai Komunis.
Para pemimpin China dapat menunjuk AS sambil mengatakan hancurnya politik AS sebagai gejala meredupnya kekuatan demokrasi.
Cara Trump menangani pandemi telah membuat AS menjadi sasaran belas kasihan di seluruh dunia.
Jika ia akan tetap lakukan pengkhianatan dari hasil pemilu AS besok, demokrasi AS jelas akan runtuh.
Kemudian, jika ada grup milisi sayap kanan yang mengintimidasi para rakyat yang siap berpesta demokrasi dan kekacauan mematikan terjadi di AS pada 3 November, media pemerintah China akan membesar-besarkannya menjadi bahan propaganda mereka.
Sedangkan jika Trump menang, maka China akan mendapatkan keuntungan lebih besar lagi.
Meskipun Trump periode kedua akan terapkan kebijakan politik dan teknologi yang ketat untuk China, kelanjutan masa jabatannya akan menjadi penguat rezim Xi Jinping.
Contohnya, pasti akan ada banyak warga AS yang menganggapnya sebagai presiden yang tidak sah.
Lebih buruk, AS bisa alami perang sipil politk jika ia menang lewat cara belakang dengan menekan para rakyat, manuver politik oleh badan legislatif yang dikontrol oleh Republik di tempat unggulan mereka seperti Pennsylvania, Wisconsin dan Florida.
Trump akan menjadi presiden yang menyalahgunakan wewenangnya, seperti dikutip dari project-syndicate.org.
Meskipun kedua kandidat memang sama-sama menganggap China sebagai ancaman paling serius bagi AS, salah satunya harus berpikir bagaimana memenangkan perang dingin dengan China tanpa sebabkan perang sipil di negaranya sendiri.
Meningkatnya polarisasi partisan sebabkan Amerika tidak mungkin membangun lagi kekuatan mereka sendiri dalam bidang kesehatan masyarakat, edukasi, penelitian ilmiah, energi bersih dan infrastruktur.
Itulah sebabnya China akan jauh lebih diunggulkan.
Kebijakan kuno menyebut pemimpin China lebih mendukung kemenangan Biden, meskipun China lalu harus hadapi pihak Barat yang lebih besatu.
Administrasi Biden lebih bisa ditebak dan membuka kerja sama dalam hal perubahan iklim dan kesehatan publik.
Namun Partai Komunis China sepertinya lebih suka jika Trump menang.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini