Advertorial
Intisari-online.com -Sebuah laporan dari investigasi internasional Jumat lalu menyebutkan Rusia tetap lanjutkan mengembangkan senjata kimia mereka Novichok.
Hal itu tetap mereka lakukan meskipun Rusia mengklaim mereka sudah menghancurkan stok yang sudah mereka timbun.
Novichok dikembangkan oleh Uni Soviet pada 1970 dan digunakan untuk 'mengerjai' mantan mata-mata Sergei Skripal dan anaknya di Inggris pada 2018.
Agustus kemarin, Novichok juga digunakan untuk membungkam pemimpin oposisi Rusia Alexei Navalny.
Rusia menyangkal bahwa mereka menyerang Navalny, dan berargumen mereka sudah tidak punya program senjata kimia lagi.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengklaim di tahun 2017 jika Rusia telah menghancurkan timbunan senjata kimianya.
Namun investigasi setahun yang dilakukan oleh Bellingcat dengan The Insider Rusia, Der Spiegel dari Jerman dan RFE/RL dari Amerika, menyimpulkan program ilmiah militer Rusia melibatkan kelanjutan program Novichok.
Melansir Business Insider, mereja libatkan institut riset sipil sementara ilmuwan lain menutupi pekerja militer yang masuk ke badan riset tersebut.
Investigasi Bellingcat temukan jika sejak 2010, Institut Negara untuk Pengobatan Eksperimental Militer dari Menteri Pertahanan bersama dengan Sinyal Pusat Ilmiah telah memimpin upaya Rusia untuk melanjutkan program Novichok.
Novichok bekerja dengan sangat berbahaya, memblokir neurotransmitter dan dapat sebabkan kelumpuhan permanen hingga kematian karena gagal jantung atau kehabisan napas.
Institut tersebut rupanya berkolaborasi dengan Institut Pusat Eksperimental untuk Riset Ilmiah dari Menteri Pertahanan ke-33.
Investigasi Bellingcat mencatat jika institut tersebut sebelumnya terlibat dalam program senjata kimia Rusia.
Mereka juga dilaporkan bekerja dengan Institut Ilmiah untuk Teknologi Kimia Organik, yang mengawasi 'penghancuran' stok senjata kimia Rusia.
Lebih jauh lagi, investigasi itu temukan koordinasi antara dua institut penelitian dan sub unit dari Unit Militer 29155, operasi pembunuhan di dalam badan intelijen Rusia, GRU.
Business Insider sebelumnya melaporkan Unit 29155 dicurigai telah terlibat dalam sejumlah operasi sensitif dan berbahaya.
Salah satunya adalah manuver Rusia dalam pemilihan presiden AS tahun 2016 kemarin, serta upaya pembunuhan di seluruh Eropa, termasuk pembunuhan mantan mata-mata Russia yang menjadi agen ganda Sergei Skripal.
Unit 29155 juga dilaporkan terlibat dalam membayar militan Taliban yang menyerang pasukan AS di Afghanistan.
"Data telecom yang kami dapatkan tunjukkan jika peneliti kunci dari institut berkongkalikong dengan intelijen militer Rusia, termasuk dalam unit operasi hitam mereka sampai tingkat yang bukan hanya upaya pertahanan militer," papar Bellingcat.
Contohnya adalah antara November 2017 dan Maret 2018, saat Skripal dan anaknya diracuni di Salisbury, Sergey Chepur, kepala institut St. Petersburg, dilaporkan menghubungi anggota Unit 29155 lewat telepon setidaknya 65 kali.
Selanjutnya karena kasus Navalny ini, pemimpin negara-negara Eropa kian berang.
Minggu lalu, Uni Eropa dan Inggris terapkan sanksi untuk 6 pejabat senior Rusia dalam merespon kasus Navalny.
Kamis kemarin, grup bipartisan dari senator AS mendesak administrasi Trump untuk terapkan sanksi baru kepada Rusia.
Bellingcat mencatat jika pemerintah AS dan Eropa belum memberi sanksi kepada Institut Pengobatan dan Eksperimen Militer St. Petersburg dari Kementerian Pertahanan atau Pusat Sinyal Ilmiah.
Menyoal kasus penyerangan Navalny, pemimpin Eropa mulai berbicara blak-blakan dalam mengkritik Rusia.
Namun Presiden Donald Trump hanya diam dan tidak menanggapi apapun.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini