Advertorial
Intisari-Online.com - Pandemi virus corona (Covid-19) yang melanda Indonesia semakin mengkhawatirkan.
Sebab, kasus harian sudah menembus angka di atas 4.000 kasus.
Pada hari Rabu(23/9/2020), pemerintahmengumumkan adanya penambahan 4.465 kasus baru positif virus corona.
Itu adalah rekor kasus harian tertinggi sejak 2 Maret 2020.
Dengan hasil itu, makatotal jumlah kasus Covid-19 di Indonesia telah mencapai257.388.
Dari jumlah tersebut, jumlah pasien sembuh tercatat bertambah 3.660 orang, sehingga total menjadi187.958 orang.
Namun, di sisi lain angka kematian akibat virus corona pun bertambah.
Hari ini dilaporkan bertambah 140 kasus kematian, sehingga totalnya ada sebanyak 9.977 kasus.
Terkait kematian akibat Covid-19, selama 10 hari terakhir atau periode 14-23 September, angkanya tercatatmencapai 1.254 orang.
Berikut rinciannya:
1. 14 September - 118 orang
2. 15 September - 124 orang
3. 16 September - 135 orang
4. 17 September - 122 orang
5. 18 September - 114 orang
6. 19 September - 112 orang
7. 20 September - 105 orang
8. 21 September - 124 orang
9. 22 September - 160 orang
10. 23 September - 140 orang
Dari rincian tersebut, diketahui rata-rata kematian di Indonesia akibat Covid-19 dalam kurun waktu 10 hari terakhir adalah 125 orang per hari.
Jumlah 1.254 orang yang meninggal dalam rentang 10 hari, melebihi separuh dari total korban meninggal selama 31 hari pada bulan Agustus, yakni 2.286 orang.
Lantas, apa yang bisa dilakukan agar korban jiwa tidak semakin banyak?
Pemerintah
Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengatakan meningkatnya angka kematian akibat Covid-19 merupakan tanda kegagalan pengendalian pandemi di suatu wilayah.
"Artinya, kita harus mengevaluasi strategi penendalian."
"Karena, ketika kematian itu terjadi, dan apalagi tren kematian di Indonesia meningkat, menunjukkan jika strategi yang dilakukan tidak tepat," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Rabu (23/9/2020).
Dicky menilai saat ini evaluasi terhadap strategi pengendalian pandemi Covid-19 di Indonesia tidak bisa ditunda lagi.
Dia menyebut tingginya angka kematian menunjukkan strategi pengendalian yang dilakukan kalah cepat dengan kecepatan penularan virus corona.
"Maka respons kita harus cepat, terutama untuk melakukan deteksi dini dalam bentuk peningkatan kapasitas testing dan tracing."
"Bila itu tidak dilakukan, berarti kita mengabaikan banyak kesakitan dan kematian yang terjadi," ujar dia.
Sekali lagi, Dicky mengingatkan penguatan testing dan tracing, tidak bisa juga hanya dilakukan di satu atau dua daerah saja.
"Apalagi, mayoritas daerah kita, misalnya di provinsi-provinsi besar Jawa juga belum terlihat adanya upaya peningkatan dari testing dan tracingnya," kata Dicky.
Menurut Dicky, angka kematian di Indonesia yang diketahui sejauh ini bukanlah angka kematian yang sesungguhnya.
Menurutnya, di negara maju dengan sistem surveillance atau pengawasan kematian yang lebih baik dari Indonesia, angka kematian mereka baru dianggap mewakili 60-80 persen korban sesungguhnya.
"Apalagi di Indonesia, saya tidak tahu persisnya, yang jelas surveillancenya baru mewakili di bawah angka itu, dan harus segera diperbaiki," ujar dia.
Masyarakat
Di sisi lain, Dicky mengatakan masyarakat juga harus berperan aktif dalam melandaikan kurva kematian.
Berbagai cara dapat dilakukan, misalnya dengan cara membatasi interaksi, membatasi mobilitas, dan disiplin 3M (mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak).
"Sekali lagi, peran masyarakat ini tidak hanya pada masyarakat umum saja."
"Namun juga institusinya, perkantorannya, dan industri."
"Mereka juga berperan menerapkan, taat, dan patuh protokol," kata Dicky.
Dia mengatakan, prokol untuk institusi, perkantoran, dan industri tidak hanya 3M saja, melainkan juga memastikan orang yang bekerja secara work from office bebas virus.
"Caranya bagaimana? Ya, dengan melakukan screening," ujar dia.
(Jawahir Gustav Rizal)
(Artikel ini telah tayang diKompas.comdengan judul "1.254 Orang di Indonesia Meninggal Akibat Corona dalam 10 Hari, Ini Saran Epidemiolog")