Advertorial

Habis Manis Sepah Dibuang, Setelah Dapat Stok Minyak Dari Negara-negara Ini Dengan Beri Utangan, China Depak Afrika Dari Sumber Minyak Mereka

May N

Editor

Intisari-online.com -Kebijakan China membangun jalur sutera baru yaitu Belt and Road Initiative (BRI) melibatkan negara Teluk dan negara-negara Arab.

China dikabarkan menjalin hubungan baik dengan negara-negara Arab dan menerima ekspor minyak mereka.

China tidak hanya bergantung kepada negara Arab untuk stok minyak bumi.

Afrika adalah salah satu sumber penting bagi China untuk stok minyak selama dua puluh tahun ini.

Baca Juga: Atasi Migrain Dengan Biji Ketumbar, Cara Membuatnya Sangat Mudah

Namun sepertinya pembagian minyak di pasar diharapkan menurun.

China dikabarkan mencari sumber lain, seperti disebutkan oleh analis.

2007 lalu, sepertiga dari impor minyak mentah China datang dari Afrika seperti data dari Obsevatory of Economic Complexity (OEC).

OEC adalah platform data online yang dijalankan oleh Datawheel milik AS.

Baca Juga: Cara Mudah Agar Bisa Viral dan Trending di TikTok, Auto Masuk FYP!

Namun pembagian itu menurun ke angka 18% pada saat ini, dan diprediksi akan jatuh lebih jauh lagi.

Rupanya, impor minyak dari Arab sudah ditunggu-tunggu oleh China.

Mengutip South China Morning Post, China sudah mengimpor separuh kebutuhan minyak mereka dari Timur Tengah dan Badan Energi Internasional memprediksi jika impor tersebut akan meningkat dua kalinya pada 2035 mendatang.

Disebutkan China setuju untuk menginvestasikan 400 milyar Dolar AS di Iran untuk bayaran suplai minyak dari negara tersebut.

Baca Juga: Ratusan Tahun Dijajah Portugis, Inilah Fakta-fakta tentang Timor Leste

Ini persis bagaikan habis manis sepah dibuang, Mark Bohlound, analis riset senior untuk New York yang juga bagian dari Intelijen REDD, mengatakan Angola dan Sudan dulunya penting bagi suplai minyak China awal tahun 2000 lalu.

China saat itu bekerja sama dengan Afrika sebagai sumber bahan mentah industri mereka dan pasar produk mereka, bagian dari strategi "Go Global".

2006, tercatat 5 negara dari top 10 penyuplai bagi China dari Afrika antara lain Angola, Republik Kongo, Equatorial Guinea, Sudan dan Libya.

Sumber pasar dari Afrika lainnya termasuk Kamerun, Gabon, Algeria, Nigeria, Mesir dan Ghana.

Baca Juga: Permusuhan Makin Meluas, Amerika Serikat Ancam Blokir Pembuat Chipset SMIC Asal China

Saat itu, China bersaing untuk suplai minyak dengan AS tapi dengan revolusi minyak serpih, AS berubah dari importir minyak terbesar di dunia menjadi eksportir minyak.

"Ini berarti bahwa Cina adalah klien terbesar bagi hampir semua eksportir minyak utama, termasuk Arab Saudi," kata Bohlund.

"Jadi, pentingnya eksportir minyak Afrika seperti Sudan Selatan, Republik Kongo dan Angola telah berkurang secara signifikan."

Pada tahun 2018, Angola adalah satu-satunya negara Afrika yang masih berada di antara lima eksportir minyak teratas ke Cina, memasok lebih dari 10 persen dari total raksasa Asia.

Baca Juga: Terjerat Kasus Narkoba Lagi, Penyanyi Senior Reza Artamevia Diamankan Polisi, Kisah Sang Diva yang Kehidupan Pribadinya Tidak Seindah Karirnya

Angola menandatangani kesepakatan multimiliar minyak-untuk-pinjaman dengan pedagang komoditas Cina dan Beijing, menjadi tujuan terbesar benua untuk pinjaman Cina - akuntansi sekitar sepertiga dari semua pinjaman ke negara-negara Afrika dari Beijing.

Cina juga menginvestasikan miliaran dolar di ladang minyak di Sudan dan Sudan Selatan, kedua sekutu utama Beijing, tetapi kerawanan telah menghentikan operasi darat.

David Shinn, seorang profesor di Elliott School of International Affairs Universitas George Washington, mengatakan bahwa ketika Sudan bersatu, Cina mengimpor lebih dari 5 persen minyaknya dari negara itu.

Tapi itu sebelum Sudan Selatan memisahkan diri dari Republik Sudan pada tahun 2011, dan tiga perempat ladang minyak Sudan pergi dengan itu.

Baca Juga: Salah Satunya Hanya dengan Campuran Air Hangat, Ini 11 Obat Tradisional untuk Biduran Kronis

"[Hari ini] Sudan hampir tidak memiliki kelebihan minyak untuk diekspor ke Cina dan produksi Sudan Selatan telah menurun karena konflik sipil di beberapa wilayah ladang minyak," kata Shinn.

Charles Robertson, kepala ekonom global dan analis pasar berkembang untuk bank investasi yang berbasis di Moskow Renaissance Capital, mengatakan Sudan telah menjadi "pemasok yang tidak dapat diandalkan untuk Cina".

Sudan Selatan juga telah memberikan pemberitahuan bahwa mereka akan mengakhiri kemitraannya dengan China National Petroleum Corporation (CNPC), operator ladang minyak utama negara itu, ketika lisensinya berakhir dalam tujuh tahun, menurut laporan media lokal pekan lalu.

Ladang minyak ini akan diambil alih oleh Nile Petroleum Corporation milik negara.

Baca Juga: 15 Menit Bertarung dengan Buaya Demi Selamatkan Adiknya, Kumar Hampir Putus Asa, Beginilah yang Terjadi Selanjutnya

CNPC memiliki 41 persen saham di konsorsium minyak terbesar Sudan Selatan - Dar Petroleum Operating Company, sementara Sinopec, perusahaan milik negara Cina lainnya memegang 6 persen saham.

Karena konflik di negara ini, Dar Petroleum memproduksi sekitar 110.000 barel per hari, jauh di bawah kapasitasnya, menurut catatan perusahaan.

Sudan Selatan menyumbang hanya sebagian kecil dari total impor minyak China tetapi sebagian besar dari apa yang dihasilkannya pergi ke Cina, terutama karena AS memberlakukan sanksi pada beberapa pemimpin dan bisnisnya.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait