Advertorial
Intisari-Online.com - Arief Nurochim adalah generasi terakhir pemburu ikan raksasa yang hidup di Sungai Tembesi, anak Sungai Batanghari Sumatera.
Ikan raksasa itu disebut ikan tapah.
Di kampungnya di Desa Pauh, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, Jambi, hanya Arief dan orang-orang sepuh yang masih mencari ikan tapah secara tradisional.
Arief mendapatkan ilmu menangkap ikan tapah dari sang paman.
Ia belajar membuat alat tangkap tradisional seperti menteban, lampung, tagang, dan jalo rambang.
Namun sejak empat tahun terakhi, Arief berburu ikan sendirian karena sang paman meninggal.
"Turun temurun dari keluarga. Terakhir paman yang mengajari Saya berburu tapah," kata office boy di salah satu bank plat merah ini, saat dihubungi via WhatsApp, Rabu (19/8/2020).
Ditangkap secara tradisional
Ikan yang berbobot puluhan kilogram itu itu keluar mencari makan saat malam hari.
Ikan tapah itu suka berlama-lama di tebing curam atau daerah bergambut dan di sela-sela pohon besar.
Jika kondisi air surut, Arief akan mempersiapkan alat tangkap tradisionalnya yakni jalo rambang, pukat, dan lapun.
Namun jika kondisi air sungai banjir, Arief akan menggunakan alat manteban dan pancing tagang.
Kepada Kompas.com Arief bercerita jika jalo rambang adalah jenis jala yang terbuat dari anyaman tali senar yang memiliki ukuran besar dengan berat puluhan kilogram.
Sedangkan kapun adalan anyaman tali senar yang dibingkai dengan rotan lalu ditancapkan ke dasar sungai.
Sementara tagang adalah sejenis tajur atau pancing dengan mata kail yang cukup besar.
Biasanya Arief menggunakan anakan lele untuk umpan.
Terkadang ia juga menggunakan alat tangkap yang hampir punah yakni manteban.
Manteban terbuat dari anyaman bambu yang kemudian dipasang di tepi jalan tempat lewatnya ikan tapah.
Untuk memggunakan manteban, Arief tidak perlu menggunakan umpan.
Arief memilih waktu malam hari untuk berburu ikan raksasa itu. Ia akan naik perahu dibantu dengan penerangan senter.
Tak jarang ia memilih menyelam hingga ke dasar sungai untuk mencari ikan tapah.
Arief mengaku tidak tertarik menangkap ikan menggunakan setrum walaupun hasilnya bisa puluhan kilo dalam semalam.
Menurutnya, setrum hanya akan merusak dan membunuh ikan-ikan kecil.
Perburuan itu bukan tanpa risiko. Arief bercerita cahaya lampu senter kerap menarik perhatian ikan welang yang memiliki bisa mematikan.
Baca Juga: 10 Bagian Tergeli Wanita yang Sangat Suka Disentuh untuk Kenikmatan
Menurutnya ia kerap menemukan ular welang sudah ada di dekatnya.
Biasanya untuk menghindari serangan ular, ia menjauhkan cahaya senter dari tubuh karena ular welang fokus pada cahaya.
Satu kilo ikan tapah dijual dengan harga Rp 120.000.
Sekali berburu, Arief bisa mengantongi penghasilan yang lumayan. Namun penghasilan tersebut tak ia dapatkan setiap hari.
Untuk ukuran raksasa, Arief pernah dua kali mendapatkan ikan tapah dengan bobot 30 kilogram.
Selama berburu ikan tapah, ia pernah mendapatkan 105 kilogram.
"Kalau bobot di atas 100 kilogram belum pernah. Karena kondisi sekarang air tercemar, banyak PETI, dan alat setrum. Paman Saya sering dapat 105 kilogram. Itu rekor," kata Arief menjelaskan.
Untuk tetap melestarikan tradisi berburu tapah, Arief membuat kanal youtube dengan nama Arief Maestro Fishing.
Dia sudah mendapatkan 110.000 subscriber dan videonya viral dengan 4,7 juta penonton.
Pendapatan Arief pun cukup lumayan. Dia pernah mengantongi uang sebesar Rp 800.000 sampai Rp 56 juta per bulan dari YouTube .
Baca Juga: Tanda-tanda Hamil 39 Minggu, Sudah Siap untuk Bersalin Saat Ini?
Ancaman tambang emas ilegal hingga overfishing
Batanghari yang menjadi suangai terpanjang di Sumatera adalah tempat hidup ikan raksasa berbobot ratusan kilogram dengan umut puluhan tahun.
Selain ikan tapah, beberapa waktu lalu warga juga dihebohkan dengan penangkapan ikan pari raksasa berbobot 130 kilogram.
Ikan tersebuttertangkap di Kecamatan Taman Rajo, Kabupaten Muaro Jambi. Namun saat ini Sungai Batanghari tercemar dampaj dari penambangan emas tanpa izin (PETI).
Selain itu, para pemburu ikan raksasa juga terancam dengan alat setrum ikan.
Ahli taksonomi dan biodiversitas air tawar, Universitas Jambi, Tedjo Sukmono menuturkan setiap perubahan kualitas air yang menurun, karena aktivitas PETI, akan berdampak pada kehidupan biota air termasuk ikan berukuran besar seperti tapah dan pari.
Apabila bobot ikan yang ditemukan di atas 100 kilogram, berarti habitatnya masih mendukung ketersedian makanan.
Baca Juga: Cara Mudah Hindari Tertipu Beli Barang di Platform Digital Ala Lazada
Tapi jika ikan raksasa sulit ditemukan lagi dan hanya ikan yang berukuran kecil, dapat disimpulkan hanya sebagai area bertahan (refuge area) dari tekanan terhadap lingkungan.
Menurut Tedjo, ancaman ikan-ikan besar saat ini adalah overfishing.
Yakni penangkapan dalam skala besar atau berlebih. "Contohnya setrum ikan," katanya kepada Kompas.com.
Ancaman berikutnya fragmentasi habitat, kerusakan habitat dan penurunan kualitas air.
Tentu sudah banyak riset yang dikeluarkan bahwa air sungai Batanghari sudah tercemar karena terdampak PETI.
Kalau untuk ikan pari dengan bobot di atas 100 kilogram usia hidupnya sudah mencapai 20-25 tahun. Sedangkan tapah untuk ukuran yang sama, masih belum diidentifikasi.
(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Berburu Ikan Raksasa di Sungai Batanghari Sumatera"