Advertorial

Covid Hari Ini 7 Juli 2020: Menilik Ketepatan Prediksi Gugus Depan terhadap Kasus Covid-19 di Indonesia, Rapid Test Justru Menghambat?

Khaerunisa

Penulis

Virus corona sudah tercatat lebih dari empat bulan lamanya menyebar di Indonesia. Berbagai kebijakan diterapkan, namun
Virus corona sudah tercatat lebih dari empat bulan lamanya menyebar di Indonesia. Berbagai kebijakan diterapkan, namun

Intisari-Online.com - Virus corona sudah tercatat lebih dari empat bulan lamanya menyebar di Indonesia.

Berbagai kebijakan diterapkan, namun hingga kini penambahan kasus positif masih terjadi.

Dalam sepekan, yaitu mulai Senin (29/6/2020) hingga Minggu (5/7/2020), tercatat adanya penambahan kasus positif sebanyak 9.739.

Sementara itu, pada Senin (6/7/2020), terdapat tambahan 1.209 kasus baru, sehingga total keseluruhan kini mencapai 64.958 kasus.

Baca Juga: Tak Ada Satu Pun Kasus Positif Covid-19 di Korea Utara, Kim Jong Un Suruh Bawahannya Tetap Waspada, 'Jangan Cepat Berpuas Diri!'

Dengan demikian, berarti rata-rata penambahan kasus harian dalam sepekan terakhir adalah 1.391 kasus, atau hampir 1.400 kasus tiap harinya.

Seperti diberitakan Kompas.com (6/7/2020) Angka kasus harian yang dipublikasi pada Kamis (2/7/2020) menjadi angka dengan penambahan tertinggi kasus Covid-19, yakni 1.624 kasus.

Penambahan kasus tertinggi berikutnya terjadi pada Minggu (5/7/2020) dengan total 1.607 kasus, dengan Jawa Timur menjadi provinsi dengan tambahan kasus terbanyak, yaitu 552 kasus.

Meski demikian, perlu diinggat bahwa jumlah kasus yang dilaporkan setiap harinya tidak sama dengan jumlah orang yang terinfeksi Covid-19 pada hari itu.

Baca Juga: Pengalaman Berhadapan dengan Kekuatan Astral Oleh Pendaki yang Sempat Hilang di Gunung Guntur, Tiba-tiba Ditemukan dalam Keadaan Telanjang, 'Pernah Terjadi Sebelumnya'

"Pelaporan hasil yang dikonfirmasi laboratorium dapat memakan waktu hingga satu minggu sejak pengujian," kata WHO dalam Situasion Report tentang Indonesia yang diterbitkan 1 Juli 2020.

Prediksi meleset

Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 memperkirakan, puncak pandemi di Indonesia akan dimulai pada Mei dan berakhir pada Juli.

Seperti diberitakan Kompas.com (6/7/2020) hal tersebut disampaikan oleh Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo.

Doni menyebutkan, perhitungan puncak pada Juli didasarkan data dari Badan Intelijen Negara (BIN).

Baca Juga: Tokopedia Bocor Lagi, Email dan Nomor Ponsel Penggunanya Beredar Luas di Medsos, Sungguh Berbahaya Karena Bisa Disalahgunakan

Berdasarkan data itu, penyebaran Covid-19 di Tanah Air diperkirakan akan mencapai 106.000 kasus pada Juli 2020.

Merujuk data perkiraan tersebut, kasus Covid-19 akan mengalami peningkatan dari akhir Maret sebanyak 1.577 kasus, akhir April sebanyak 27.000 kasus, 95.000 kasus pada akhir Mei serta 106.000 kasus di Juni dan Juli.

Meski demikian, memasuki Juli, total kasus masih berada di kisaran 60.000.

Jika demikian, apakah perkiraan Gugus Tugas meleset?

Baca Juga: China Semakin Nakal hingga Bikin Muak dan Siap Perang Negara-negara Ini, Dimulai dari Aksi Boikot Produk 'Made in China'

Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, melesetnya prediksi itu kemungkinan karena banyaknya kasus yang belum terdeteksi.

Buktinya, kata dia, rata-rata kasus infeksi di Indonesia masih berada pada kisaran di atas 11 persen.

"Angka kasus positif Covid-19 masih banyak yang belum terdeteksi di masyarakat. Hal ini bisa terlihat dari positive rate Indonesia yg rerata di kisaran 11 persen ke atas. Jadi wajar bila jauh di bawah prediksi," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (4/7/2020).

Baca Juga: Pabrik Uang Korea Utara Terbongkar! Dikenal Negara Miskin dan Tidak Punya Sumber Daya Ternyata Dari Sini Sumber Uang Untuk Program Senjata Nuklir Korut

Deteksi belum optimal

Mengutip Harian Kompas, Jumat (3/7/2020) Henry Surendra, peneliti serologi dan epidemiolog Laporcovid19.org, mengatakan, salah satu hambatan percepatan tes Covid-19 dengan PCR di Indonesia adalah penggunaan tes cepat (rapid test) berbasis antibodi untuk diagnosis, padahal akurasinya rendah.

Laporcovid-19 mendapat informasi dari sejumlah dokter yang ditekan kepala daerah agar mengurangi tes PCR dan hanya memakai tes cepat antibodi sehingga kasus positif tak bertambah.

Padahal, tes cepat lebih tepat untuk studi guna mengetahui tingkat kekebalan komunitas dan sebaran orang yang pernah tertular.

Jadi, pemerintah perlu mengevaluasi penggunaan tes cepat yang rentan disalahpahami dan disalahgunakan.

Baca Juga: Sebelum Bisa 'Melangkahi Mayat Korea Utara,' Perang Korea Tidak Mudah Dipadamkan, 'Halaman Belakang' Dinasti Kim Penuh Senjata Nuklir dan Pulau Gulag

”Sebaiknya pemerintah fokus memperbanyak tes PCR dan tak memakai tes cepat antibodi untuk diagnosis. Apalagi, banyak tes cepat yang beredar ini tidak divalidasi,” kata dia.

Selain itu, pemerintah mesti membuka jumlah harian tes PCR di tiap daerah sebagai ukuran kinerja.

Jika data tes PCR tak dibuka, bisa jadi daerah minim kasus atau zona hijau terjadi karena tesnya kurang.

Baca Juga: Pusing Putar Duit yang Jumlahnya Bejibun, Karyawan Bank Ini Malah Tilap Sendiri Uang Nasabahnya Sendiri hingga Rp6 Miliar

Memperlambat penanganan pasien

Tri Maharani, dokter emergensi di Rumah Sakit Umum Daha Husada, Kediri, Jawa Timur, menilai, tes cepat memperlambat penanganan pasien.

Tri sebelumnya positif Covid-19 menurut hasil tes PCR, padahal hasil tes cepat nonreaktif.

Menurut epidemiolog dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, Bayu Satria, tak ada negara yang sukses mengendalikan Covid-19 dengan tes cepat antibodi untuk diagnosis.

Dalam panduan WHO, standar yang dipakai tes molekuler dengan PCR.

”Di Korea Selatan dan Taiwan, yang disebut tes cepat ini pakai PCR, bukan serologi (antibodi). Di negara lain, tes PCR bisa selesai sehari,” kata dia.

Baca Juga: Seremnya Kebangetan, Tak Hanya Satu, Tujuh Ular Piton Sepanjang 5 Meter Teror Warga Blora

Pemerintah Indonesia disarankan tidak menjadikan tes cepat antibodi sebagai pilihan syarat penerbangan.

Di Taiwan, syarat untuk terbang adalah hasil tes PCR paling lama tiga hari sebelum terbang.

Saran penghentian tes cepat antibodi sejalan dengan riset di The British Medical Journal edisi 1 Juli 2020.

Kajian oleh Mayara Lisboa Bastos dari Research Institute of the McGill University Health Centre, Kanada, dan tim ini mengungkap kelemahan utama tes antibodi Covid-19 sehingga tidak bisa untuk diagnosis.

Baca Juga: Berniat Bikin China Keder, AS Tak Ragu Kerahkan Pesawat Bomber Pembawa Nuklir Nonstop 28 Jam ke Guam

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Kasus Virus Corona Capai 64.958, Berapa Jumlah Rata-Rata Kasus Harian di Indonesia?

Artikel Terkait