Advertorial
Intisari-online.com -Salah satu kunci penting penanganan Corona adalah kesabaran.
Bagi pemerintah sabar untuk segera membuka keran ekonomi, bagi warga sabar untuk tetap berdiam diri di rumah dan jaga jarak.
Meski begitu tidak semua negara bisa sesabar itu.
Ada beberapa negara yang terapkan lockdown tapi kemudian mencabut keputusan itu lebih awal.
Tujuannya adalah agar ekonomi segera kembali pulih dan berjalan seperti biasa.
Kenyataannya ketika pandemi ini masih ada, maka tidak ada yang bisa berjalan seperti biasa.
Mengutip dari CNN, analisis kebijakan lockdown dari 18 negara telah tunjukkan jika sebagian besar negara Uni Eropa berani cabut peraturan lockdown sejak ada trend penurunan kasus harian baru Covid-19.
Kontras dengan itu, tiga dari empat negara dengan tingkat kematian Covid-19 tertinggi di dunia dan juga dengan kasusnya justru tidak jelas menutup negaranya atau membuka kembali negaranya sebelum jumlah kasus mulai menurun.
Ketiga negara tersebut adalah Amerika Serikat (AS), Brasil, dan India.
Uni Eropa secara formal setujui set rekomendasi dari 15 negara yang mereka pertimbangkan cukup aman dikunjungi warga Uni Eropa.
Persetujuan itu disahkan pada Selasa.
Untuk masuk daftar tersebut, calon negara harus mengecek beberapa hal: kasus baru negara tersebut per 100 ribu warga 14 hari sebelumnya harus sama atau di bawah standar Uni Eropa.
Mereka juga harus memiliki trend kasus baru Covid-19 stabil atau menurun di periode ini dibandingkan 14 hari sebelumnya.
Kumpulan grafik ini tunjukkan negara-negara yang sudah boleh dikunjungi warga Uni Eropa dan sebaliknya.
Perhatikan bagaimana trend penurunan kasusnya.
Uni Eropa juga mempertimbangkan apa yang negara-negara itu lakukan untuk menangani virus Corona, seperti melacak kontak, dan seberapa dapat dipercayanya data masing-masing negara.
Daftar negara tersebut antara lain Algeria, Australia, Canada, Georgia, Jepang, Montonegro, Moroko, Selandia Baru, Rwanda, Serbia, Korea Selatan, Thailand, Tunisia, Uruguai, dan China.
Meski begitu, China bisa masuk ke Uni Eropa dalam kondisi kesepakatan timbal-balik.
Pengamatan respon virus Corona dari 14 negara tersebut tunjukkan mereka punya 1 hal penting yang sama.
Meski mereka ditekan kondisi resesi ekonomi, negara-negara itu menolak untuk meringankan aturan social distancing saat jumlah kasus meningkat.
Kemudian, saat akhirnya aturan lockdown diangkat, mereka lakukan itu dengan protokol bertahap dan hati-hati.
Ilmuwan telah sebutkan jika lockdown telah mencegah ratusan juta infeksi di seluruh dunia.
Studi model yang dipublikasikan oleh jurnal ilmiah Nature bulan lalu mengestimasi jika awal April, kebijakan lockdown telah selamatkan 285 juta orang China terinfeksi, 49 juta di Italia dan 60 juta di AS.
"Aku rasa belum pernah ada usaha keras manusia pernah selamatkan nyawa sebanyak ini dalam waktu yang singkat.
"Telah ada biaya tak terhitung untuk tetap di rumah dan membatalkan semua acara, tetapi data tunjukkan jika setiap hari tercipta perubahan yang mendalam," ujar penulis utama studi tersebut, Solomon Hsiang.
Solomon Hsiang adalah profesor dan ketua dari Global Policy Laboratory di University of California, Berkeley.
Seberapa sukses sebuah lockdown bergantung pada sejumlah penyebab, termasuk apakah lockdown diterapkan cukup awal.
Tidak ada dua lockdown yang sama persis, sehingga saat orang-orang di Italia atau Spanyol harus membayar denda ketika mereka keluar rumah selain untuk urusan yang penting, di Jepang, tetap di rumah adalah sebuah rekomendasi daripada sebuah perintah.
Australia, Kanada, Selandia Baru cukup cepat untuk batasi travel warganya, sedangkan di negara lain termasuk Algeria, Georgia dan Moroko, anak sekolah termasuk yang pertama dilindungi ketika sekolah langsung ditutup.
Tindakan penanganan lain termasuk perintah tetap di rumah, penutupan gerai toko yang kurang penting, karantina dan isolasi.
Beberapa negara seperti Algeria, Rwanda, Montonegro dan China telah merasakan wabah lagi sejak pembatasan diangkat.
Hal itu timbulkan upaya pemerintah untuk perkenalkan lagi penanganan secara lokal.
Namun lockdown memang sangat berdampak pada resesi ekonomi, peningkatan kondisi pendidikan yang tidak setara dengan tuntutan kerja, seperti halnya pada masalah gender, ras dan latar belakang sosial-ekonomi.
Saat toko-toko dan sekolah ditutup dan hampir semua travel dilarang, ratusan juta orang di seluruh dunia mengalami dampak menjadi pengangguran.
Dampak ekonomi inilah salah satu alasan mengapa beberapa pemimpin negara termasuk Donald Trump, telah mendesak untuk dibukanya AS, bahkan walaupun ahli penyakit menular peringatkan bahaya mematikan angkat aturan ini terlalu dini.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini