Advertorial
Intisari-online.com - Selama ini kita mengenal China sebagai negara yang gemar memberikan utang kepada banyak negar di dunia.
Termasuk Indonesia, sendiri tercatat memiliki utang senilai 17,75 dollar AS atau setara Rp274 triliun dalam kurs Rp13 ribu.
Tak hanya Indonesia, beberapa negara seperti Sri Lanka,Zimbabwe, Pakistan hingga Nigeria semuanya memiliki utang dengan negeri Tirai Bambu tersebut.
Lantas sebenarnya seberapa besar keuangan China, dan apakah China juga memiliki utang luar negeri?
Seperti dilansir dari Daily Express per Selasa (16/6/20), dikatakan China saat ini sedang mengalami keterpurukan ekonomi akibat Covid-19.
Hal itu ternyata berimbas pada utang publik, sehingga negara menuangkannya ke dalam program infrastruktur domestik besar-besaran.
Tujuannya untuk menyeret ekonominya yang terpukul keluar dari krisis keuangan, yang dipicu oleh pandemi Covid-19.
Sementara itu, China diketahui menjadi kreditor resmi terbesar di dunia melebihi IMF Bank Dunia, menurut laporan Universitas Harvard.
China diketahui telah memberikan 2.000 pinjaman kepada 152 negara pada tahun 1949-2017.
Sementara itu, sejak 2015, sudah ada 50 negara berkembang yang terus menambah utang pada China.
Negara maju utang pada China melalui surat utang negara, sementara negara berkembang, mendapatkan utang langsung melalui badan usaha negara China seperti Development Bank, dll.
Namun di balik itu semua, utang diberikan China yang dikenal dengan "diplomasi jebakan utang".
Ini adalah penjajahan berkedok utang, dengan memberikan negara kecil utang yang mustahil dilunasi.
Menurut The Sun beberapa negara yang menunggak utang pada China dipaksa menyerahkan kendali aset negaranya, dengan mengizinkan China mempunyai pangkalan militer di negara tersebut.
Meski demikian, bukan berarti China adalah negara dengan keuangan melimpah, nyatanya mereka memiliki jumlah utang yang tidak sedikit.
Pada Mei 2020, China memiliki jumlah utang senilai 5,48 triliun dollar AS (Rp77 ribu triliun), menurut Global & Poor's Global Ratings.
Kondisi itu semakin diperparah dengan pandemi Covid-19 yang ikut memukul perekonomian China.
Menurut NBS Ekonomi Tiongko masih menghadapi masalah luar biasa, dengan kekhawatiran akan potensi gelombang kedua infeksi virus corona yang memicu penguncian di Beijing.
Juru Bicara NBS, Fu Linghui, mengatakan, "Pandemi di luar negeri masih berkecamuk dan ekonomi global menyusut parah."
"Kontrak dan konsumsi domestik dibatasi, sementara momentum investasi manufaktur tidak memadai," katanya.
"Produksi dan operasi perusahaan telah terpukul sangat keras, dan tantangan baru-baru ini dalam situasi pandemi, dampaknya membuat ekonomi belum pasti," terangnya.
Total Obligasi pemerintah daerah China mencapai 150 milyar poundsterling (Rp2669 triliun), pada bulan Mei tertinggi sejak November 2017, hal ini digunakan untuk proyek infrastruktur.