Saksi mata kejadian kematian Obby Kogoya, Cisco, menyatakan tindakan rasisme yang terjadi terhadap warga Papua sudah terjadi sejak Irian Jaya bergabung dengan Indonesia sejak tahun 1962.
Banyak yang melabeli orang Papua sebagai separatis, pemabuk, perusuh, tukang onar dan paling buruk, sebutan monyet.
"Rasisme yang terjadi terhadap kami itu bukan terjadi begitu saja, tetapi memang sengaja dipelihara oleh negara, teman-teman bisa melihat media-media itu dalam meliput papua selalu miring, dalam melihat aktivitas kegaiatan mahasiswa papua itu selalu dengan nada provokatif, yang jelas ini menjadi konsumsi informasi yang tidak bagus di Indonesia," tegasnya.
Anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Mikael Kudiai menilai rasisme tampak lebih struktural di era 2000-an saat masa otonomi khusus melalui pesan yang disampaikan lewat media-media.
Mikael menegaskan bahwa seluruh gerakan masyarakat yang terjadi pada pertengahan 2019 lalu di Papua dan Papua Barat bukanlah gerakan yang dikoordinasi, melainkan amarah yang bertahun-tahun dipendam dan meledak saat kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.
"Itu tidak terkonsolidasi, kalau misalnya ada yang bilang itu dikonsolidasi dan dibiayai itu tidak ada, memang rasialisme itu rakyat marah," tegas Mikael.
Aktivis Papua mendesak pemerintah Indonesia untuk mulai membuka ruang diskusi mendengar suara-suara rakyat Papua, warga Indonesia harus menyuarakan masalah rasisme terhadap rakyat Papua agar diusut tuntas karena permasalah ini adalah masalah hak asasi manusia bukan separatisme, dan membuka akses jurnalis untuk bekerja di Papua.
Menanggapi ramainya tagar Papuan Lives Matter, Rumadi Ahmad, Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan Ham mengatakan kasus George Floyd tidak seharusnya dikaitkan dengan apa yang terjadi di Indonesia.
Penulis | : | Maymunah Nasution |
Editor | : | Maymunah Nasution |
KOMENTAR