Advertorial
Intisari-Online.com - Adanya warga Korea Utara yang memilih untuk membelot ke Korea Selatan tampaknya bukan hal baru lagi.
Hal tersebut tak jarang menjadi perbincangan terkait negara yang terkenal paling tertutup dan misterius ini.
Ya, beberapa warga memilih untuk pergi dari kepemimpinan yang diktator ke negara tetangga sekaligus rival Korea Utara itu.
Menurut data dari Seoul, pada 2017 sudah ada 1.127 pembelot dari Korut ke Korsel.
Korea Selatan biasanya memberikan suaka kepada para pembelot dari Korut ini.
Para pembelot kemudian akan diinterogasi oleh otoritas intelijen Korea Selatan.
Mereka juga akan menghabiskan waktu di fasilitas yang dikelola pemerintah untuk pendidikan ulang, sebelum dilepas ke masyarakat.
Namun, baru-baru ini ada pembelot dari Korut ke Korsel yang dipulangkan ke negeri asalnya.
Dilansir dari BBC, Kamis (7/11/2019), mereka adalah dua nelayan Korea Utara yang diketahui telah melintasi perbatasan laut pada hari Sabtu.
Setelah melewati perbatasan dengan kapal cumi-cumi mereka, perlu waktu dua hari bagi angkatan laut Korea Selatan untuk menangkap mereka.
Mereka kemudian ditahan oleh pihak berwenang di Korea Selatan.
Ternyata, pihak Korsel menganggap dan memerlakukan mereka bukan sebagai pembelot melainkan penjahat.
Baca Juga: Tak Dibersihkan Pemiliknya Selama 2 Tahun, Akuarium Ini Ternyata Telah 'Melahirkan' Hewan Mengerikan
Hal itu lantaran mereka dicurigai telah membunuh 16 anggota awak kapal sebelum akhirnya melarikan diri ke Korea Selatan.
Kemudian, kedua lelaki berusia 20-an itu diserahkan ke Korea Utara di desa perbatasan Panmunjom di zona demiliterisasi.
Lantas bagaimana nasib pembelot yang gagal kabur ini?
Diketahui, ketika Kim Jong-un berkuasa, pada akhir 2011, pada usia 27, banyak warga Korea Utara yang berharap akan adanya perubahan.
Dia diharapkan akan mengantarkan era baru modernitas dan keterbukaan bagi negara totaliter.
Ternyata itu tidak terjadi.
Kisah-kisah dari para pembelot yang gagal kabur pun meninggalkan catatan suram.
Yakni seperti yang dialami Scott Kim, dia dan ibunya gagal membelot dan dikirim kembali ke Korut pada 2001.
"Ketika kami mencapai pusat penahanan di Korea Utara, kami kehilangan semua hak kami sebagai manusia," kata Kim sebagaimana dilansir Business Insider, (15/6/2018).
“Kami diperlakukan seperti binatang, secara harfiah. Kami harus merangkak di lantai untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain.”
Kim dimasukkan ke sel bersama 20 pembelot lainnya.
Ada satu toilet di sudut dan tidak ada ruang untuk berbaring. Siang dan malam, para pembelot duduk di tanah.
“Itu adalah hukuman kami karena kami adalah orang berdosa. Saya tidak tahu mengapa kami adalah orang berdosa,” katanya.
Ketika dia atau pembelot lainnya diperintahkan untuk menyusuri koridor ke kantor sipir, mereka dipaksa merangkak dengan tangan dan kaki.
Petugas memukuli mereka dengan sarung tangan dan tongkat saat mereka pergi.
Diperkirakan 100.000 warga Korea Utara atau lebih saat ini tinggal di pusat-pusat penahanan, penjara-penjara politik, atau kamp-kamp kerja di mana mereka menanggung kerja keras, penyiksaan, dan kelaparan.
Terlepas dari kenyataan bahwa salah satu kamp pendidikan ulang terbesar Korea Utara adalah di Chongori, dekat kota asalnya di Musan, Kim dikirim ke pusat lebih jauh ke selatan.
Dia kemudian berhasil kabur dari situ, namun kembali tertangkap.
Dia kemudian dikirim ke kamp kerja paksa, tempat dia menebang pohon di gunung selama berbulan-bulan.
Dia kemudian berhasil kembali membelot hingga sampai di Korea Selatan dan menjalankan bisnisnya sendiri dan berkumpul dengan ibunya. (Muflika Nur Fuaddah)