Advertorial

Termasuk Merasa Sudah Paham, Inilah Sejumlah Alasan Banyak Orang Indonesia 'Ngeyel' Ketika Disuruh Tinggal di Rumah karena Wabah Corona

Ade S

Editor

Intisari-Online.com -Sejak diumumkan kehadirannya di Indonesia pada 2 Maret 2020, virus Corona terus menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia.

Jumlah pasien positif Covid-19 dan meninggal pun terus bertambah setiap harinya.

Atas dasar itulahPemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menginstruksikan masyarakat untuk mematuhi protokol-protokol pencegahan virus corona, salah satunya dengan karantina mandiri.

Namun, seiring berjalannya waktu, adanya protokol ini menjadi tidak lagi ampuh untuk membuat masyarakat mejadi patuh pada aturan kesehatan.

Bahkan, mereka pun sampai mudik ke kampung halaman, meski pemerintah telah menyuarakan agar tidak mudik demi menghentikan rantai penularan virus.

Lantas mengapa masyarakat Indonesia susah untuk diminta agar tetep berada di rumah selama pandemi virus corona?

Penjelasan sosiolog

Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Drajat Tri Kartono mengungkapkan, fenomena tersebut terjadi karena kurang eratnya social control yang dilakukan oleh negara.

Baca Juga: Para Ahli Memprediksi Akan Terjadinya 'Gelombang Kedua' Virus Corona di Indonesia, Apa Maksudnya?

"Jadi, kalau menurut saya mengapa ada social control dan government control, penyebab pertama karena inisiatif dan kontrol yang paling kuat ini dilakukan oleh negara belum bergandengan erat dengan social control," ujar Drajat saat dihubungi Kompas.com, Selasa (14/4/2020).

Menurutnya, jika government control ini bergerak sendiri, harus diikuti oleh aparatur yang kuat untuk pengendaliannya.

Sebab, jika government control itu hanya berupa nasihat dan nasihat tersebut tidak berurusan dengan kesehatan dan pendidikan, maka penguatannya dinilai kurang.

Tetapi, apabila government control aparatur dan implikasi-implikasi pada perizinan dan administrasi di beberapa tempat diterapkan secara ketat, dan bagi pelanggar akan dikenai sanksi, maka hal itulah yang dinilai efektif bagi social control.

Ia menambahkan, jika telah diterapkan government control dan dilakukan darurat sipil atau darurat militer, maka dipastikan tidak akan ada yang melawan.

Membangun inisiatif warga

Selain itu, Drajat menyampaikan bahwa hal terpenting yang sejak awal harus dibangun yakni inisiatif dan pergerakan dari pemerintah.

"Menurut saya, aturan ini harus dibuat agar masyarakat terbangun inisiatifnya untuk menyadari bahaya akan virus corona," ujar dosen yang mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNS ini.

Baca Juga: Semakin Beragam Gejala Virus Corona yang Muncul, Ahli Perancis Sebut Beberapa Masalah Kulit Ini Bisa Merupakan Gejala Infeksi Covid-19

Terkait informasi banyaknya pemudik dari Jakarta ke sejumlah daerah, Drajat mengusulkan agar pemerintah tidak hanya mengurusi kegiatan yang bergerak dari ibu kota ke kampung.

Namun, pemerintah juga harus di-push pada faktor budaya daerah, misalnya kepatuhan terhaap orangtua, ziarah makam, dan sebagainya.

Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya mengedukasi dan medorong menolak mudik dengan cara halus kepada masyarakat.

Salah satu cara halus yang dapat digunakan yakni (misal) orangtua yang melarang anaknya untuk mudik lantaran orangtua khawatir jika si anak tertular virus corona saat berada dalam perjalanan pulang.

Tak hanya pemerintah saja yang bergerak, melainkan masyarakat lokal juga didorong untuk memanfaatkan modal sosial guna menghentikan penularan virus corona.

Tidak adanya kompensasi negara

Sementara itu, faktor lain yang menjadi penyebab ketidakpatuhan karena adanya keterampasan yang tidak disertai dengan kompensasi.

Sehingga masyarakat mengalami kesulitan secara ekonomi di Jakarta dan mereka tidak diperbolehkan keluar dari rumah.

Baca Juga: 5 Latihan Berolahraga yang Bisa Dilakukan di Rumah Selama Pembatasan Sosial Demi Memutus Rantai Penyebaran Virus Corona, Salah Satunya Kelas Yoga Online

Dengan tidak bisa keluar rumah, mereka pun tidak dapat mendapatkan penghasilan bagi sebagian masyarakat di Jakarta. Diketahui, orang-orang yang pergi ke Jakarta adalah orang-orang menengah ke bawah di desa-desa yang desa tersebut mengalami involusi.

Involusi merupakan proses kembalinya suatu organ ke ukuran semula. Tetapi jika dikaitkan dengan kondisi ini berarti pertanian-pertanian sudah tidak dapat menyangga kehidupan.

Apabila mereka tidak ditopang kehidupannya, maka mereka akan sulit bertahan hidup.

Kelangsungan hidup ini dapat terjamin jika pemerintah dan pengusaha-pengusaha besar di ibu kota mau mendukung.

Kemudian, bagi para pekerja di ibu kota, adanya kompensasi merupakan sebuah kesempatan bagi mereka untuk dapat bertahan hidup di tanah rantau.

Sedangkan jika pemerintah tidak memberikan kompensasi, tentu mereka akan pulang untuk mendapatkan jaminan hidup dan sosial dari keluarga.

Selain itu, penyebab orang-orang menjadi tidak patuh karena mereka melihat di jalanan masih banyak motor dan mobil yang beroperasi, dan mereka aman-aman saja saat pulang.

"Ketidakpatuhan ini juga didukung jika mereka tidak mendapatkan dukungan ekonomi," ujar Drajat.

Baca Juga: Hadapi Corona: 10 Strategi Memperkuat Sistem Kekebalan Tubuh, Salah Satunya dengan Kebiasaan Mencuci Tangan

Bosan dan sudah mengerti

Kemudian, penyebab lain dari perilaku masyarakat yang tidak patuh yakni mereka jenuh dengan pola yang sama dan merasa sudah mengerti.

Drajat menjelaskan, ketika hal itu terjadi, maka alternatifnya menggunakan jarak makna. Jarak makna adalah simbol yang ketika diulang-ulang terus maka membuat orang menjadi jenuh/bosan dan orang akan menganggap hal itu tidak becus.

Informasi mengenai virus corona saat ini dinilai menggunakan pola yang sama dan diulang-ulang.

"Kegentingan semakin berkurang, itu mereka sudah mengerti kalau tidak boleh berkumpul, itu juga orang-orang pengetahuannya sudah cukup, jadi mereka berani keluar," ujar Drajat.

"Yang terpenting, jarak makna ini terus diolah secara bervariasi dan dengan melibatkan masyarakat, pelibatan inisiatif untuk ikut serta dalam upaya-upaya pengendalian ini," lanjut dia.

Di sisi lain, dalam mengatasi jarak makna yang semakin pendek ini, ia mengungkapkan, harus dilakukan masyarakat dengan cara berkolaborasi secara online yang terus menginfokan secara online.

Informasi yang disajikan dengan virtual mudik, virtual arisan, dan lainnya.

Menurutnya, aktivitas sosial sebaiknya jangan dihentikan, namun pengadaannya diubah menjadi virtual.

"Nah, kalau sudah ada seperti ini, maka dapat juga dibuat mudik virtual, tapi infrastrukturnya juga harus disediakan oleh negara, yakni berupa internet supaya dipermudah," ucap Drajat.

Harapannya, pemerintah mau membuat kuota lebih murah dan diusahakan dapat merambah ke wilayah pelosok agar dapat mengakses internet.

"Ini dapat difasilitasi, atau menjadi salah satu alternatif agar organisasi tetap hidup dan jalan, dan gerakan produktivitas," lanjut dia.

(Retia Kartika Dewi)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengapa Masyarakat Indonesia Susah untuk Diminta Tetap di Rumah Saat Pandemi Corona?".

Artikel Terkait