Advertorial

Korut-Korsel Sepakat Berdamai Dan Segera Akhiri Perang, Tapi AS Justru Makin Curiga

Agustinus Winardi
Agustinus Winardi
,
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

Intisari-Online.com -Sepak terjang Kim Jong Un yang sepanjang tahun 2017 selalu menggemparkan sekaligus menakutkan dunia ternyata berubah drastis.

Pasalnya hanya selang beberapa bulan saja, menjelang pertengahan tahun 2018, sepak terjang Kim Jong Un malah berhasil membuat terpesona dunia internasional.

Sepanjang tahun 2017, dunia sudah memahami bahwa sosok Kim Jong Un lebih dikenal sebagai ditaktor kejam Korut dan pemimpin muda yang ingin sekali mengobarkan peperangan nuklir dengan AS serta sekutunya.

Tapi mendekati pertengahan tahun 2018, sikap Kim Jong Un ternyata berubah total karena justru menjadi sosok yang ingin menghentikan program nuklir Korut, membereskan Perang Korea, dan berdamai sekaligus bersatu sebagai saudara dengan Korsel.

Baca juga:Benarkah Korut Melunak Gara-gara Nuklirnya jadi Senjata Makan Tuan?

Sepak terjang Kim Jong Un sebagai pemimpin muda Korut, jika diamati jelas bukan merupakan sikap yang diputuskan secara tiba-tiba.

Tetapi sikap yang terencana secara matang karena keputusan Kim Jong Un bukan hanya terkait dengan Korut-Korsel saja, tapi dunia internasional.

Rupanya Kim Jong Un yang ditahun 2017 menjadi pemimpin Korut yang demikian berani untuk menantang perang melawan militer AS dan sekutunya memang sengaja dikobarkan oleh Kim Jong Un.

Tujuannya adalah agar perhatian dunia internasional tertuju ke Korut.

Baca juga:Hargai Korut Bekukan Program Nuklirnya, Korsel Matikan Speaker Propaganda Raksasa yang Suka Bikin ‘Stress’ Kim Jong Un

Pasalnya Kim Jong Un tidak hanya mengancam AS saja, Korut juga sengaja beberapa kali meluncurkan uji rudal balistik yang secara psikologis telah berhasil membuat rakyat Korsel, Jepang, dan AS ketakutan.

Rusia dan China yang merupakan ‘tetangga sebelah’ Korut bahkan ikut ketar-ketir.

Karena uji rudal balistik Korut dan ancaman Kim Jong Un untuk merudal nuklir AS bisa memicu militer AS serta sekutunya menggempur Korut.

Tapi ‘anehnya’ militer AS dan sekutunya ternyata tidak menggempur Korut dan hanya menakut-nakutinya melalui menuver militer secara besar-besaran di sekitar Semenanjung Korea.

Baca juga:Inilah Akhir Pertemuan Korut dan Korsel: Kim Jong Un Bikin Moon Jae In Merinding, Kenapa Ya?

Padahal militer AS dan sekutunya termasuk pasukan yang gampang menarik picu senjata (trigger happy) seperti telah mereka buktikan ketika menyerbu Irak, Afghanistan, dan Suriah.

Militer AS dan sekutunya yang hanya berani mengancam Korut ternyata sangat menguntungkan posisi Kim Jong Un.

Karena strategi politik Kim Jong Un menantang AS dalam bentuk peperangan ternyata berhasil dan sekaligus mencitrakannya untukj menjadi pemimpin yang ditakuti serta disegani di kawasan Semenanjung Korea.

Keberanian Kim Jong Un untuk bertempur melawan AS dan sekutunya jelas membuat rakyat Korut makin memuja-muja Kim Jong Un.

Baca juga:Kim Jong Un Janjikan Penghentian Program dan Uji Coba Nuklir, Donald Trump Senang Tapi Tetap Belum Percaya

Rakyat Korut memang sangat membeci AS karena telah membuat Korut sangat menderita selama Perang Korea dan sesudahnya.

Jadi menurut pemahaman rakyat Korut, penderitaan mereka yang berkepanjangan hingga saat ini bukan karena ulah para pemimpin Korut tapi AS.

Oleh karena itu keberanian Kim Jong Un untuk melawan AS telah membuat rakyat Korut makin bangga sekaligus memposisikan Kim Jong Un sebagai pemimpin muda Korut yang telah berkhasrisma seperti para leluhurnya.

Tapi strategi Kim Jong Un yang selama tahun 2017 sengaja menciptakan ‘teror terhadap AS dan sekutunya’ melalui beberapa kali uji ledakan bom nuklir dan peluncuran rudal balistik jelas telah memakan biaya banyak.

Baca juga:Senyum Kim Jong Un di Tanah Korsel dan ‘Sinyal Awal Sejarah Baru’

Apalagi akibat stateginya itu, Korut kemudian mendapat embargo ekonomi, termasuk dari Rusia dan China sehingga secara politik, militer, dan ekonomi, Korut di tahun 2018 dalam kondisi lemah.

Namun rupanya Kim Jong Un sudah menyiapkan diri untuk menghadapi kondisi itu.

Yakni dengan menawarkan perdamian dengan Korsel dan AS sehingga Korut akan lebih mudah untuk mendapatkan bantuan keuangan dan ekonomnya.

Selain itu itu, Korut juga akan terbebas dari gempuran militer AS dan sekutunya seperti yang sudah terjadi di Suriah.

Karena tujuan Kim Jong Un dari awal rupanya bukan hanya menjadi pemimpin yang mengancam keamanan di Semenanjung Korea dan dunia internasional, tapi malah sebagai motor perdamaian dunia.

Peran Kim Jong Un untuk menjadi motor perdamaian itu telah diwujudkannya melalui kunjungannya ke China, menggelar perundingan damai yang menggemparkan dunia dengan Korsel (27/4/2018), dan selanjutnya menggelar pertemuan dengan Presiden AS Donald Trump (Juni 2018).

Sikap Kim Jong Un yang begitu mudahnya untuk berdamai dengan Korsel seperti yang ditunjukkan pada Pertemuan Tingkat Tinggi (KTT) di Panmunjeon (27/4/2018) memang membuat terpesona sekaligus suka cita dunia.

Ketika berkunjung ke Korsel dengan langkah riang dan santai sambil melintasi garis Demarkasi Zona Militer yang telah memisahkan Korut-Korsel sejak 1953, Kim Jong Un ternyata sama sekali tidak menunjukkan permusuhan.

Presiden Korsel Moon Jae In yang begitu tercengang melihat sikap Kim Jong Un yang seperti ‘sahabat masa kanak-kanaknya yang telah lama berpisah’ pun menyambutnya selayaknya seorang saudara.

Yang pasti pertemuan antara Kim Jong Un dan Moon Jae In, yang sesungguhnya dimotori oleh kemauan Korut untuk berdamai telah meluruhkan suasana ketegangan di Semenanjung Korea dan juga dunia internasional.

Namun, Donald Trump yang menilai sikap Kim Jong Un yang begitu mudah berubah untuk berdamai dengan Korut dan membereskan Perang Korea itu, malah menganggapnya sebagai ‘tipuan’.

Pasalnya sebelum pemimpian Korut itu betul-betul membuktikan komitmennya untuk berdamai, Trump tidak akan percaya.

Pemerintah AS sendiri meskipun surprise dengan hasil perundingan Korut-Korsel sesungguhnya sangat terkejut dan sekaligus bingung menghadapi manuver politik Kim Jong Un yang sangat tidak terduga itu.

Masalahnya jika Korut-Korsel sampai berdamai dan Perang Korea dinyatakan usai, sebanyak lebih dari 30.000 pasukan AS dan persenjataannya harus segera ditarik dari Korsel.

Akibatnya peran AS sebagai ‘polisi’ di kawasan Asia-Pasifik makin berkurang dan Jepang mungkin tidak bersedia jika pasukan AS yang ada di Korsel kemudian dipindahkan ke pangkalan militer AS di Okinawa.

Sebenarnya keberadaan militer AS di Korsel tidak hanya untuk menghadapi Korut saja, tapi juga untuk menciptakan keseimbangan kekuatan militer dengan Rusia serta China.

Dengan keberadaan militer AS di Korsel yang berperan ganda itu maka sudah bisa ditebak jika pertemuan antara Kim Jong Un dan Donald Trump yang sudah dijadwalkan bisa lebih panas dan alot dibandingkan pertemuan Kim Jong Un dan Moon Jae-in.

Itu akan terjadi jika Kim Jong Un secara terang-terangan meminta penarikan mundur pasukan AS dari Korsel.

Tapi yang jelas Kim Jong Un seperti telah dibuktikan ketika bertemu dengan Moon Jae-in akan bersikap lebih santai.

Sedangkan Donald Trump bisa saja malah bersikap senewen, mengingat sepanjang tahun 2017 dua pemimpin yang berseteru itu pernah saling mengolok-olok secara habis-habisan.

Apalagi Donald Trump seperti dikutipcnn.com tetap mencurigai bahwa niat damai Kim Jong Un terhadap Korut hanya merupakan ‘sandiwara seorang tiran’.

Artikel Terkait