Konon mirip metro di Moskwa. Metro yang dibangun tahun 1968 dan saat tahun 1975 sudah tersedia 17 pemberhentian itu, terletak 100 m di bawah tanah, merupakan metro terdalam di dunia.
Konon, sehari sekitar 400 ribu orang menggunakan jasanya, sedangkan hari libur bisa mencapai 700 ribu orang. Suhu pun tetap terjaga sebesar 18° C agar tetap hangat saat musim dingin dan sejuk saat musim panas.
Selain metro ada pula trolleybus, yaitu bus yang bagian atasnya terkait dengan kawat listrik, dan tramcar, trem yang menggunakan rel. Harga karcis jauh-dekat hanya 5 won (sekitar Rp 67) untuk semua rute.
Sebagai perbandingan 1€ = 186 won dan 1 AS $ = 138 won waktu itu. Menukar uang harus di bank dengan kurs resmi. Uang won tidak boleh dibawa keluar negeri, terutama uang koin. Namun di Korea Utara ada kemudahan berbelanja, karena bisa membayar dengan uang dolar. Jika membayar dengan dolar atau euro kembaliannya uang yuan RRC.
Yang menarik, polisi lalu lintas di sana umumnya perempuan cantik berseragam putih yang mengatur kendaraan secara manual. Lalu lintas juga tidak padat, sehingga semua kelihatannya lancar-lancar saja.
Namun, bila suhu udara mencapai 30° C atau di bawah 7°C, polwan cantik itu tidak terlihat di jalan. Sebagai gantinya lampu lalu lintas dinyalakan.
Begitu pula di semua gedung yang dikunjungi, kami selalu disambut oleh petugas wanita yang cantik-cantik dengan gaun mewah bak ingin pergi ke pesta besar. Penyapu kebun di hotel juga memakai sepatu hak sedang dan berpakaian rapi.
Ternyata kapal sederhana
Dalam dua hari yang tersisa, kami selanjutnya menuju ke kota pelabuhan yang terletak di sebelah timur, Wonsan.
Mengunjungi mausoleum Raja Donyong (22 SM - 4 M). Berbeda dengan Korea Selatan yang membiarkan semua seperti aslinya, di sini karena dipindahkan dari tempat lain, makam itu kelihatannya sudah diperindah. Juga ke Gunung Kumgang dengan airnya yang jernih dan batu-batu sungai yang putih.
Kami juga menyempatkan diri mampir di asrama anakanak internasional. Gedungnya sangat megah. Terdapat auditorium dan banyak barang peragaan, termasuk beberapa burung yang diawetkan. Kelihatannya semua memang serba bagus, tetapi terkesan "dingin".
Kamar tidur, WC yang bersih, tetapi tidak terlihat satu manusia pun. Paling terlihat petugas yang sedang membersihkan taman.
Di mana-mana terlihat patung Presiden Kim II Sung yang selalu disebut "our great leader" oleh pemandu kami.
Di hari terakhir, 18 Juli, sesuai janji sebelum menuju bandara, kami mampir dulu ke kapal mata-mata Pueblo yang berlabuh di tepi sungai.
Tenyata kapal itu sangat sederhana dan buatannya masih kasar. Awak kapal dibebaskan setelah ada permintaan maaf dari Amerika Serikat, pada 23 Desember 1968.
Tibalah saatnya kami bertemu kembali dengan telepon genggam yang harus ditinggalkan. Ternyata telepon genggam saya "tidak ada". Namun karena yang tertinggal hanya satu itu, ya mestinya itulah milik saya. Benar juga. Stiker yang sebelumnya saya tempelkan sebagai tanda pengenal ternyata sudah bersih.
Bersamaan dengan bersatunya kembali kami handphone masing-masing, berakhirlah pula perjalanan ke negara yang konon paling tertutup di dunia itu. Yang serbarapi dan bersih, sekaligus dingin dan misterius. (Irawati, di Jakarta)
Artikel ini pernah tayang di Majalah Intisari Mei 2009
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR