Advertorial
Intisari-Online.com -Membicarakan Korea Utara seolah tak ada habisnya.
Yang paling terbaru tentu saja pertemuan Presiden Korea Utara Kim Jong-un dengan PResiden Korea Selatan Moon Jae-in di wilayah Korea Selatan, Jumat (24/4).
Pertemuan dua orang superpenting di negara yang sedang berselisih itu tentu diharapkan menjadi tonggak sejarah baru hubungan keduanya.
Soal Korea Utara, kontributor Intisari pernah berkunjung ke negara komunis tersebut, sekitar pertengahan 2007 lalu. Bagaimana kesannya, simak saja tulisan berikut ini.
Baca juga:Senyum Kim Jong Un di Tanah Korsel dan ‘Sinyal Awal Sejarah Baru’
***
Sungguh beda, antara apa yang sering kita dengar dengan apa yang kami saksikan sendiri. Kehidupan rakyat di negara komunis ini konon sangat sulit.
Namun ternyata selama delapan hari, 12-18 Juli 2007 lalu, kami menyaksikan kota yang penuh dengan gedung megah dan kehidupan yang tidak dapat dikatakan susah, saat mengunjungi negara Kim II Sung ini.
Dengan pesawat Ilushin-62, lewat Shen Yang, RRC, kami terbang menuju Pyongyang, Korea Utara. Sebelum berangkat kami sudah diberitahu bahwa telepon genggam tidak boleh dibawa masuk ke Korea Utara.
Dibawa pun percuma, karena di sana tak ada akses telepon seluler dari luar negeri. Jadi, malam sebelum masuk Korea Utara, kami semua sudah mengeluarkan SIM card, takut kalau terselip atau tertukar.
Paspor juga harus diserahkan ketika melewati pemeriksaan.
Demikianlah, setelah menyerahkan semua paspor dan telepon seluler di bandara, kami menuju The Yanggakdo International Hotel, hotel megah di tepi Sungai Taedong.
Hotel itu bertingkat 47, dengan jumlah kamar 1.000 buah. Setidaknya begitu menurut brosur yang kami ambil.
Baca juga:Berseteru Sejak 1950, Korea Utara dan Korea Selatan Siapkan Acara Resmi untuk Akhiri Perang
Di tingkat teratas hotel yang kelihatan cukup mewah itu terdapat restoran berputar. Namun ketika malam hari kami mengun-junginya, ternyata sepi. Selain kami, cuma ada dua tamu lain. Walhasil, restoran pun tidak "diputar".
Selain itu pada lantai dasar ada kasino kecil yang dibuka malam had, entah siang hari. Di hotel itu juga tersedia tempat pemandangan terbuka, lapangan golf seluas 9.000 m2 dan ruangan pesta berkapasitas 850 orang.
Pokoknya semua terlihat "wah". Hanya saja selama kami berada di sana tidak banyak pengunjung yang kami jumpai. Kami makan pagi tersendiri di meja panjang dan makanandisajikan oleh pelayan.
Semua tampak serba sederhana, tetapi kopi susunya lezat sekali. Selama di Korea Utara, kami ditemani dua pemandu yang fasih berbahasa Inggris. Kami memang dipesan untuk tidak keluar hotel tanpa pemandu.
Bukan apa-apa, mereka hanya khawatir kami tersesat karena kendala bahasa. Orang asing yang kami jumpai selama di sana hanyalah sekelompok orang Eropa, yang tergabungdalam tim pembantu pertanian.
Sekolah gratis
Keesokan harinya kami ke Pan Mun Jom melewati kota Kaesong, yang jaraknya hanya 8 km dari batas demarkasi militer itu. Pada zaman Dinasti Koryo, kota ini pernah menjadi ibu kota Korea. Di sana terdapat kompleks industri Kaesong, sebuah kawasan industri eksklusif yang didirikan oleh Hyundai Asian.
Lebih kurang 10.000 pekerja menggantungkan hidupnya di sana. Pinggiran jalan rayanya pun begitu cantik, penuh ditanami tumbuhan bunga pendek berwarna kuning. Untuk memasuki kompleks Pan Mun Jom, kami harus berbaris.
Di dalam kompleks itu terdapat ruang penandatangan Armistice Agreement, perjanjian gencatan senjata antara dua Korea yang ditandatangani pada 27 Juli 1953, dan ruang konferensi Military Armistice Commission.
Baca juga:Janggal, Satu Liang Makam Prasejarah Misterius Ini Berisi Tiga Tubuh
Kami juga masuk ke ruangan perbatasan yang mempunyai pintu, ke sisi Korea Selatan dan ke sisi Utara. Dalam perjalanan keliling kami melewati antara lain papan dengan tulisan Presiden Kim II Sung (1912 - 1994) yang meninggal di kantornya sehari setelah menandatangani naskah tersebut.
Tepatnya tanggal 7 bulan 7 tahun 1994, pada usia 82 tahun.
Sore harinya dalam perjalanan menuju Children Palace, kami melewati jalan-jalan yang penuh dengan apartemen untuk rakyat. Konon ada sekitar 500 ribu buah. Namun gedung apartemen yang memang besar itu terlihat kumuh.
Setiap apartemen luasnya sekitar 125 m2 dan tersedia lift. Konon di daerah pedesaan, rumah-rumah juga berbentuk seragam dan tidak boleh lebih dari tiga tingkat.
Jalan-jalan kelihatan sepi, kami jarang berpapasan dengan mobil lain. Jalanan juga relatif bersih dan terawat. Begitu juga sungai, terlihat bersih Ketika melewati kompleks olahraga, kelihatannya setiap cabang olahraga memiliki gedung sendiri. Jadi kempo, taekwondo, tinju, bulutangkis, senam, renang, dan sebagainya itu memiliki gedungnya sendirisendiri.
Total ada 30 ribu apartemen di perkampungan olahraga itu.
Saat itu kami juga melihat banyak anak berlatih untuk Arirang, sebuah pertunjukan senam kolosal terkenal yang diadakan setiap tahun. Biasanya Arirang dimulai setiap tanggal 15 Agustus. Namun tahun 2007 itu jadwal pertunjukannya dipercepat karena disesuaikan dengan liburan sekolah.
Ada baiknya, jika tertarik untuk menonton, Anda mencari tahu terlebih dahulu jadwal pertunjukannya. Karena bisa jadi akan berbeda setiap tahun.
Di gedung yang megah, mewah, dan luas, Children Palace, kami disuguhi pertunjukan indah musik anak-anak Korea Utara. Konon, semua murid di sini belajar di sekolah kesenian. Mereka belajar musik dan akrobat tanpa biaya.
Baca juga:Ketika 2 Polwan Menyamar Jadi PSK di Bali: Belum Sampai Disuruh Melayani Tamu
Pendidikan di Korea Utara memang sangat diperhatikan. Pemerintah membebaskan biaya selama enam tahun di sekolah menengah. Setelah lulus sekolah, semua siswa diberi pekerjaan sehingga mandiri. Selain itu setiap rakyat di sana mendapat jatah beras gratis sebanyak 700 g sehari. Kesehatan pun gratis. Para dokter bekerja di rumah sakit pada pagi hari dan sorenya berkunjung ke rumah-rumah penduduk.
Selain itu, konon semua rakyat Korea Utara senang makan buah segar (tetapi selama di sana kami jarang mendapat buah). Karena itu jarang ada anak yang cacat atau pakai kacamata. Sebelum kembali ke Pyongyang, kami juga sempat mampir di Koryo Museum.
Plakat dari Indonesia
Acara kami keesokan harinya, 13 Juli, berkunjung ke menara Juche Ideal di Pyongyang yang tingginya 170 m. Sayang, kami tidak diperbolehkan naik ke puncak, karena liftnya sedang diperbaiki. Kami harus puas dengan hanya melihatlihat plakat yang ada di Juche.
Salah satunya berasal dari orang Indonesia bernama AN Nasution, bertanggal 15 April 1981.
"Hidup Juche Ideal," tulisnya.
Kabarnya ia pernah bertemu dengan Presiden Kim II Sung. Selanjutnya di daerah Masudae kami menyaksikan patung Presiden Kim II Sung setinggi 20 m. Kami harus berdiri berjajar dan memberi hormat pada patung. Kami diingatkan agar tidak membuat foto dengan sikap seperti patung. Banyak orang yang meletakkan bunga di depan patung, termasuk kepala rombongan kami.
Di dalam kompleks itu juga terdapat banyak patung pahlawan lainnya. Lucunya ada juga dua pasang pengantin di sana, rupanya mereka ingin minta doa restu. Akhirnya malam itu kami menginap di Hotel Hyangsan, yang cukup megah, dengan sebelumnya sempat jalan-jalan ke pegunungan dan ada yang sampai ke air terjun.
Baca juga:Kisah Katrina Leung, Intelijen Tiongkok yang Obrak-abrik Gedung Putih dengan 'Diplomasi Ranjang'
Mengunjungi International Exhibition Hall, tempat dipamerkannya berbagai hadiah yang pernah diberikan kepada Presiden Kim II Sung, menjadi acara kami keesokan paginya, 14 Juli. Ada juga hadiah dari Indonesia, kalau tidak salah dari mantan presiden Megawati.
Dalam perjalanan kembali ke Pyongyang, kami mampir di Kuil Pohyon yang dibangun pada 1042, tapi kami tidak melihat ada biksu di sana.
Di Pyongyang kami mengunjungi museum Perang Korea, yang menampilkan guntingan-guntingan koran yang menceritakan bagaimana kapal mata-mata AS "Pueblo" pada tahun 1968 tertangkap. Juga ada tank dan truk-truk yang dipamerkan.
Waktu itu kami dijanjikan dalam perjalanan ke lapangan terbang nanti, bisa menyaksikan kapal itu.
Polisi lalu lintas nan cantik
Metro Pyongyang memang pantas dibanggakan! Begitu kesan saya ketika kami menyempatkan din menjajal kendaraan umum yang modern di Korea Utara. Penuh dengan hiasan mozaik dan lukisan dinding.
Konon mirip metro di Moskwa. Metro yang dibangun tahun 1968 dan saat tahun 1975 sudah tersedia 17 pemberhentian itu, terletak 100 m di bawah tanah, merupakan metro terdalam di dunia.
Konon, sehari sekitar 400 ribu orang menggunakan jasanya, sedangkan hari libur bisa mencapai 700 ribu orang. Suhu pun tetap terjaga sebesar 18° C agar tetap hangat saat musim dingin dan sejuk saat musim panas.
Selain metro ada pula trolleybus, yaitu bus yang bagian atasnya terkait dengan kawat listrik, dan tramcar, trem yang menggunakan rel. Harga karcis jauh-dekat hanya 5 won (sekitar Rp 67) untuk semua rute.
Sebagai perbandingan 1€ = 186 won dan 1 AS $ = 138 won waktu itu. Menukar uang harus di bank dengan kurs resmi. Uang won tidak boleh dibawa keluar negeri, terutama uang koin. Namun di Korea Utara ada kemudahan berbelanja, karena bisa membayar dengan uang dolar. Jika membayar dengan dolar atau euro kembaliannya uang yuan RRC.
Yang menarik, polisi lalu lintas di sana umumnya perempuan cantik berseragam putih yang mengatur kendaraan secara manual. Lalu lintas juga tidak padat, sehingga semua kelihatannya lancar-lancar saja.
Namun, bila suhu udara mencapai 30° C atau di bawah 7°C, polwan cantik itu tidak terlihat di jalan. Sebagai gantinya lampu lalu lintas dinyalakan.
Begitu pula di semua gedung yang dikunjungi, kami selalu disambut oleh petugas wanita yang cantik-cantik dengan gaun mewah bak ingin pergi ke pesta besar. Penyapu kebun di hotel juga memakai sepatu hak sedang dan berpakaian rapi.
Ternyata kapal sederhana
Dalam dua hari yang tersisa, kami selanjutnya menuju ke kota pelabuhan yang terletak di sebelah timur, Wonsan.
Mengunjungi mausoleum Raja Donyong (22 SM - 4 M). Berbeda dengan Korea Selatan yang membiarkan semua seperti aslinya, di sini karena dipindahkan dari tempat lain, makam itu kelihatannya sudah diperindah. Juga ke Gunung Kumgang dengan airnya yang jernih dan batu-batu sungai yang putih.
Kami juga menyempatkan diri mampir di asrama anakanak internasional. Gedungnya sangat megah. Terdapat auditorium dan banyak barang peragaan, termasuk beberapa burung yang diawetkan. Kelihatannya semua memang serba bagus, tetapi terkesan "dingin".
Kamar tidur, WC yang bersih, tetapi tidak terlihat satu manusia pun. Paling terlihat petugas yang sedang membersihkan taman.
Di mana-mana terlihat patung Presiden Kim II Sung yang selalu disebut "our great leader" oleh pemandu kami.
Di hari terakhir, 18 Juli, sesuai janji sebelum menuju bandara, kami mampir dulu ke kapal mata-mata Pueblo yang berlabuh di tepi sungai.
Tenyata kapal itu sangat sederhana dan buatannya masih kasar. Awak kapal dibebaskan setelah ada permintaan maaf dari Amerika Serikat, pada 23 Desember 1968.
Tibalah saatnya kami bertemu kembali dengan telepon genggam yang harus ditinggalkan. Ternyata telepon genggam saya "tidak ada". Namun karena yang tertinggal hanya satu itu, ya mestinya itulah milik saya. Benar juga. Stiker yang sebelumnya saya tempelkan sebagai tanda pengenal ternyata sudah bersih.
Bersamaan dengan bersatunya kembali kami handphone masing-masing, berakhirlah pula perjalanan ke negara yang konon paling tertutup di dunia itu. Yang serbarapi dan bersih, sekaligus dingin dan misterius. (Irawati, di Jakarta)
Artikel ini pernah tayang di Majalah Intisari Mei 2009