Advertorial
Intisari-Online.com -Si prasekolah jatuh cinta pada orangtuanya. Benarkah?
Di sebuah kantin taman kanakkanak, beberapa ibu membahas perilaku anak-anaknya.
Kali ini seorang ibu menceritakan kebiasaan anak laki-lakinya yang berusia 5 tahun, yang senang sekali minta dipeluk sang ibu, menciumi sang ibu, bahkan setiap malam masih minta tidur dikeloni ibu.
Ada lagi ibu yang menceritakan kalau anak laki-lakinya pernah bilang ingin menikah dengan ibunya kala sudah besar nanti.
Ternyata cerita dua ibu tersebut memancing pula cerita ibu lainnya yang bilang bahwa anak perempuannya sangat lekat dengan sang ayah.
Baca juga:Apakah Anda Termasuk Perempuan dengan Ciri Cinderella Complex?
Gejala anak laki-laki jatuh cinta pada ibunya dan anak perempuan memuja ayahnya, dalam dunia psikologi disebut oedipus complex dan electra complex. Kedua istilah ini dikemukakan oleh pakar psikologi Sigmund Freud.
Nisfie M.H. Salanto, M.Psi., dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia menceritakan, dalam teori Freud, pada usia lima tahun pertama kehidupan seorang anak sudah dimulai adanya hubungan secara fisik dengan pemenuhan kebutuhan yang arahnya kepada kenikmatan atau teori kenikmatan (pleasure theory).
Di usia 0-2 tahun kenikmatannya terletak pada oral atau mulut.
Anak mengenal lingkungan atau segala sesuatunya dimulai dari mulut. Apalagi sejak bayi ia sudah mempunyai refleks mengisap untuk menyusui.
Kenikmatan secara fisik lain yang dialami anak yaitu sentuhan, belaian, ditimang, digendong, dan sebagainya.
Ketika usia bertambah hingga 3 tahun, fase kenikmatan anak lebih mengarah pada anus atau istilahnya anal.
Anak yang tadinya sering buang air besar di celana maka di fase ini mulai ingin mengendalikan buang air besar dan kecilnya dengan cara menahan, sehingga sebetulnya ia sudah bisa belajar menggunakan toilet.
Setelah fase anal, anak memasuki fase falik hingga usianya 5 tahun. Pada fase ini kenikmatannya mengarah atau bersumber pada organ genital.
Baca juga:Jerawatan Sampai Dewasa Tanda Gangguan Hormonal?
Tak heran, sering ditemui anak memainkan alat kelaminnya. Di masa falik ini pula sudah terjadi identifikasi.
Masalah identifikasi inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran Freud mengenai mulai adanya oedipus dan electra complex.
Di tahap ini, anak sudah mengidolakan siapa yang paling berpengaruh dalam pemenuhan kebutuhan di dalam tiga fase tadi. Pada orang tersebutlah kemudian anak akan mengidentifikasinya.
Pada usia awal, sebetulnya baik anak laki-laki maupun perempuan akan mengidentifikasi diri mereka pada sosok ibu, mengingat kelekatan anak dibangun pertama kali dengan sosok ibu.
Kelekatan ini masih ada dalam fase falik.
Kemampuan berpikir dan belajar yang semakin berkembang, kata Freud, mendorong munculnya masalah dalam proses identifikasi anak.
Anak laki-laki melihat adanya kemiripan dirinya secara fisik dengan ayah. Dia melihat bagaimana ayahnya pun menyayangi ibu.
Karena itu anak laki-laki mengidetifikasikan dirinya dengan ayah meskipun di sisi emosionalnya anak mulai merasakan sang ayah sebagai kompetitor dan ancaman.
Kecemasan ini membuat anak laki-laki ini beridentifikasi sedemikian rupa dengan ayah untuk tujuan merebut perhatian dan mendapatkan cinta ibunya. Demikian pula dengan anak perempuan.
Baca juga:Ingat Rasanya Jatuh Cinta Pertama Kalinya? 7 Hal Berikut Ini Pasti Pernah Anda Alami!
Karena melihat ibu menyayangi ayah, lantas timbul kecemburuan. Secara ekstrem, Freud menjelaskan, anak perempuan merasa ibunya telah bersalah karena bersanggama dengan ayah dan menganggap ibunya sebagai kompetitor untuk mendapatkan cinta ayahnya.
Si anak merasa berhak pula mendapatkan penis tersebut (penis envy).
Mulai dari situ, anak perempuan bersaing sekaligus mengidentifikasikan diri pada ibu agar mendapatkan cinta dari ayah.
Itulah dasar pemikiran Freud, meskipun sebetulnya teori ini banyak yang menentang dan menganggapnya tidak masuk akal.
BUKAN EROTISME
Dalam perkembangannya, teori Freud mengalami koreksi di sana sini. Apalagi electra dan oedipus complex kini semakin jarang terjadi.
Di masa lalu, interaksi anak dan pergaulannya lebih banyak terbatas hanya dalam lingkungan rumah saja, sehingga anak tak memiliki referensi lain di luar lingkungan keluarga.
Hal ini memungkinkan terjadinya hubungan seksual antaranggota keluarga (incest) dan juga kemungkinan untuk terjadinya oedipus dan electra complex.
Berbeda dengan masa sekarang ketika kehidupan sudah banyak berubah. Peran ibu tidak hanya mengelola urusan rumah dan keluarga, tapi juga pekerjaan di luar rumah secara profesional.
Ayah masa kini pun lebih banyak terlibat dengan urusan keluarga dan rumah.
Baca juga:Kata Psikolog, Mungkin Inilah yang Membuat Anda Masih Jomblo Sampai Sekarang
Belum lagi di usia prasekolah umumnya anak sudah diperkenalkan pada lingkungan yang lebih luas, banyak bertemu teman, bersekolah, dan bersosialisasi.
Bahkan di atas usia 5 tahun anak sudah mempunyai lingkungan lain di luar orangtuanya disertai tuntutannya masing-masing.
Otomatis anak tidak terpaku lagi hanya pada orangtua. Karena itu kemungkinan untuk terjadinya oedipus dan electra complex sudah sangat jarang.
Berdasarkan teori perkembangan, jatuh cinta dalam arti berpikiran dan berperasaan erotis sebetulnya belum muncul pada usia prasekolah.
Perasaan dan pemikiran yang erotis sendiri munculnya dipengaruhi oleh faktor hormonal. Muncul dan berkembangnya faktor hormonal pada anak terjadi setelah usia akil balig atau pubertas.
Hal ini berkembang seiring dengan perkembangan organ seksual primer dan sekunder anak.
Jadi, bila orangtua menemukan anak-anak usia prasekolah yang menyatakan ingin menikah dengannya kelak, atau bersikap sedemikian lekatnya pada orangtua lawan jenisnya, ibu dan ayah tak perlu merasa khawatir berlebihan.
Pernyataan semacam itu hanyalah keluar dari mulut seorang anak usia prasekolah.
Ia belum mengetahui dan mengerti soal rasanya jatuh cinta yang melibatkan ketertarikan secara erotis. Apalagi arti menikah yang sesungguhnya.
Baca juga:Miris! Miliarder Ini Sewa Penari Erotis di Pesta Ulang Tahun Anaknya yang Baru Berusia 12 Tahun
Si prasekolah hanya memahami, sejauh ini ia melihat bahwa orang yang paling mengerti dan memahami dirinya adalah ibu.
Sementara ia pun mulai tanggap terhadap adanya pertalian dalam pernikahan dan keluarga. Anak laki-laki lalu menyatakan ingin menikah dengan ibunya karena dalam benaknya menikah berarti saling menyayangi.
Jadi, tak ada dorongan erotisme sama sekali. Saat ini, anak pun belum memiliki banyak referensi mengenai perempuan lain di luar sana kecuali ibunya.
Pengidolaan yang dilakukan anak terhadap orangtua yang berlawanan jenis semata-mata ditumbuhkan oleh pembiasaan dan pengalaman.
Jika terhadap anak perempuannya ibu bersikap lebih tegas dibandingkan sang ayah yang lebih suka memanjakannya, sangat mungkin anak perempuan akan lebih mengidolakan ayah.
Apalagi jamak terjadi, anak perempuan dianggap sebagai “daddy’s sweetheart” atau “daddy’s little princess”, karena anak perempuan dianggap lebih lucu dan perlu diperlakukan lebih hati-hati (fragile) ketimbang anak laki-laki yang sering mendapat julukan “jagoan ayah”.
Uniknya, anak laki-laki tidak langsung beridentifikasi dengan ayahnya karena kehadiran ayah di rumah biasanya lebih sedikit ketimbang ibu.
Ia memiliki kelekatan pada ibu sehingga arah identifikasinya berkembang dengan mengidolakan sosok ibu.
Ditambah lagi, ayah pun dalam memperlakukannya kebanyakan lebih melibatkan aktivitas fisik ketimbang emosi.
Baca juga:5 Superhero Ini Diprediksi Akan Tewas dalam Film Avengers: Infinity War. Adakah Jagoanmu?
PERAN PROPORSIONAL
Orangtua tak perlu khawatir dengan kelekatan si prasekolah terhadap orangtua yang berlawanan jenis.
Apakah itu kelekatan secara fisik seperti kebutuhan untuk dibelai, dipeluk, dicium, maupun kelekatan emosional yang ditunjukkan dengan sikap senang dipuji, dipahami, dan didengarkan.
Sebetulnya, yang perlu dikhawatirkan jika kelekatan anak pada orangtua sampai menghalangi proses kemandiriannya. Ketergantungan ini bisa terbawa hingga anak besar.
Ia jadi rentan terhadap stres, mudah marah atau murung, kurang bisa bersosialisasi, dan tak punya daya juang.
Akhir kata, orangtua juga dituntut bersikap proporsional agar anak tidak hanya mengidolakan salah satu orangtua.
Untuk itu, ayah dan ibu harus berbagi tugas pengasuhan dan sama-sama meleburkan diri dalam dunia anak. (Dedeh Kurniasih)
Artikel ini pernah tayang di Tabloid Nakita edisi Desember 2010-Januari 2011