Para napi mulai diberi keterampilan menganyam, pekerjaan menukang, atau membuat sepatu.
Penjara Eastern State Penitentiary, yang dibuka di Cherry Hill di Philadelphia pada 1829, termasuk salah satu pelopornya.
Baca juga: Beginilah Akhir Karier si 'Manusia Ular' yang Dihukum 22 Tahun Penjara Gara-gara Tuduhan Pedofilia
Pemikiran kaum rasionalis saat itu juga meyakini, dalam kesendirian dan kesunyian, para napi akan menyadari kesalahannya dan kemudian bertobat.
Alhasil di penjara-penjara tertentu, sehari-harinya para tahanan dipisahkan satu sama lain, baik saat bekerja maupun tidur.
Di dalam suasana sunyi itulah mereka diharapkan bisa merenung dan ujung-ujungnya bertobat. Meski aneh, konsep ini diterapkan juga di banyak negara di Eropa.
Pada 1840, Kapt. Alexander Maconochie di Kepulauan Norfolk, sebelah Timur Australia mulai memperkenalkan sistem penilaian.
Mirip anak sekolah, sehari-harinya para napi akan selalu mendapat nilai yang meliputi pekerjaan, sikap, dan kemauan untuk belajar.
Nilai ini akan tercantum dalam "rapor" dan berpengaruh terhadap hukuman. Kalau konduitenya bagus, hukuman bisa diperingan.
Pada masa yang sama, Sir Walter Crofton, kepala penjara di Irlandia juga memberlakukan tiga tahap sebelum napi dikembalikan ke masyarakat.
Mereka akan diisolasi dulu sebelum akhimya dibolehkan bersosialisasi dengan penghuni lain.
Enam bulan menjelang pembebasan, napi diberi kepercayaan dan dijaga oleh penjaga tak bersenjata. Mereka juga bisa keluar penjara dengan "pembebasan bersyarat".
Sistem inilah yang dipakai hingga sekarang. (Dari pdbagai sumber/Tj – Intisari Maret 2005)
Baca juga: Akhirnya! Pria Ini Jadi Miliarder Setelah 31 Tahun Dipenjara 'Secara Tidak Sah'
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR