Advertorial

Cerita-cerita Ngeri dari Taman Fatahillah (2): Tidak Bisa Bayar Utang? Masuk Penjara!

K. Tatik Wardayati
,
Mentari DP

Tim Redaksi

Intisari-Online.com – Di abad ke-18 penjara itu selalu penuh.

Jumlah tahanan dalam penjara Raad van Justitie di sana di tahun 1736 tercatat 437 orang.

Perinciannya adalah sebagai berikut: 64 orang dijebloskan ke dalam penjara karena tidak bisa membayar hutang-hutangnya (gijzeling).

Mereka meringkuk (untuk mengutib kata-kata dr. de Haan) dalam sebuah “lubang gelap" (donkorgat) dan hanya diberi makan nasi dengan air dingin.

Baca juga:Salman Khan, Bintang Film Bollywood yang Divonis 5 Tahun Penjara Karena Membunuh Rusa 20 Tahun Lalu

Baca juga:Taman Neraka Adalah 1 dari 5 Tempat Wisata Unik yang Ada di Dunia, Berani Mengunjunginya?

Dalam 6 buah “kandang" (hok) untuk pria dan 5 buah “kandang" untuk wanita disekap 373 orang.

Lima puluh orang di antaranya adalah tahanan-tahanan kriminil dan yang 333 orang adalah budak-budak.

Mereka dipenjarakan atas perintah majikan-majikannya untuk “mengajar adat" kepada mereka — suatu hal yang memang banyak terjadi di masa itu.

Mengenai orang-orang yang dihukum karena hutang, lama hukuman tidak terbatas. Bisa seumur hidup.

Di tahun 1763 lama hukuman itu dibatasi 6 tahun. Tetapi di tahun 1778 peraturan itu dinyatakan tidak berlaku bagi orang-orang bukan-Kristen.

Di tahun 1774 jumlah tahanan berkurang banyak: hanya 2 orang yang dipenjara karena hutang, 7 tahanan kriminil, 6 tahanan “sipli" (tidak jelas apa yang dimaksudkan) dan 23 budak.

Dr. de Haan meragukan apakah orang-orang tahanan itu hanya di malam hari saja disekap dalam sel dan di siang hari diperbolehkan menghirup udara segar di pekarangan belakang.

Bagaimanapun, laporan-laporan dari tahun 1812 mengatakan bahwa banyak orang tahanan itu menderita Iuka-luka infeksi pada kakinya akibat lamanya kaki mereka tertambat dengan rantai dalam sel.

Tahanan-tahanan itu sebagian besar adalah yang masih menunggu keputusan pengadilan apakah mereka akan dihukum badan ataukah dibuang (verbanning).

Di bawah Stadhuis itu ada dua macam penjara: penjara untuk orang-orang sipil, letaknya di bawah sayap Barat, dan penjara untuk tahanan-tahanan militer (Compagnies boeinen), di bawah sayap Timur.

Baca juga: Beginilah Akhir Karier si 'Manusia Ular' yang Dihukum 22 Tahun Penjara Gara-gara Tuduhan Pedofilia

Tahanan-tahanan militer itupun diperlakukan tidak kurang kejamnya.

Contoh: Di depan penjara militer itu berjajar pohon-pohon asam. Di bawahnya,, dipasang semacam alat penyiksa yang dinamakan “kuda kayu".

Punggung “kuda" adalah sepotong balok yang terpasang dengan pinggir sisinya yang tajam di sebelah atas.

Seringkali ada kelasi-kelasi (matrozen) yang ditahan dalam penjara itu, diperintahkan menunggang “kuda" tersebut sampai berhari-hari, di mana kedua kakinya diganduli batu-batu berat atau potongan-potongan besi.

Hukuman gantung di hadapan umum

Bukan siksaan-siksaan semacam yang dicenterakan di atas saja, melainkan pelaksanaan hukuman gantungpun boleh disaksikan oleh umum, karena pelaksanaannya terjadi di halaman muka Stadhuis.

Seorang warga kota Jakarta, yang kini berusia 80 tahun lebih, pernah berceritera bahwa pada masa masih duduk di bangku sekolah rendah, iapun pernah menyaksikannya.

Diceriterakannya bahwa halaman muka itu penuh sesak dengan publik, mengelilingi panggung dengan tiang pegantungannya.

Setelah si terhukum siap di atas panggung, dengan leher dalam jeratan tambang, algojo menjeblakkan papan yang diinjak si terhukum, sehingga ia tergantung.

Katanya, di bawah panggung telah siap menanti dua orang hukuman lain yang masing-masing menarik ke bawah sebelah kaki si terhukum untuk mempercepat penyelesaian hukuman.

Baca juga: Kisah Tragis Vicky Thompson, Perempuan Transgender yang Meninggal karena Dipaksa Masuk ke Penjara Laki-laki

Dari buku Dr. de Haan, ada beberapa info-info tentang persiapan pelaksanaan hukuman itu, yang diuraikannya sebagai berikut:

Setelah pengadilan memutuskan hukuman mati untuk seseorang tertuduh, maka ia dikeluarkan dari penjara dan diperintahkan berdiri di pekarangan belakang Stadhuis, menghadap ke arah bordes yang herada pada ketinggian kira-kira dua meter.

Di bordes itu berdiri Officier van Justitie yang membacakan vonnis hukuman mati tersebut.

Terhukum dibawa kembali ke penjara dan dimasukkan ke dalam sel khusus, yang dinamakan “terurkamer" (bilik untuk melampiaskan rasa sedih).

Biasanya si terhukum tidak menunggu lama, karena tiap bulan ada pelaksanaan hukuman mati.

Malam hari menjelang menjalani hukuman, terhukum dipindahkan ke tempat pelaksanaan hukuman tersebut.

Ada cerita-cerita yang mengatakan bahwa malam itu ia tidur di bawah panggung hukuman.

Pelaksanaan hukumanpun seringkali dilakukan di malam hari, diterangi nyala obor-obor, tetapi biasanya terjadi di waktu pagi sekali.

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1973)

Baca juga: (Foto) Mengerikan! Beginilah Kondisi Sebuah Hotel Mewah Setelah Dijadikan Penjara oleh ISIS

Artikel Terkait