Advertorial

Sebuah Kisah Minggu Siang di Kota Kompeni Tempo Doeloe: Menyaksikan Noni dan Sinyo Belanda Kongkow-kongkow

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Intisari-Online.com – Yang kumaksud kota Salatiga. Sebab di kota itu terdapat sebuah tangsi kompeni yang cukup besar. Letaknya disebelah selatan kota. Setiap hari serdadu-serdadu kompeni itu berlatih dengan kuda "tejinya". Dan tentunya juga kesatuan artilleri.

Pernah aku melihat meriam kecil kecil yang ditarik kuda kore. Malah ada juga yang dipreteli kemudian diikat di punggung kuda beban.

Kesatuan infanterinya lebih terkenal. Sebab hampir setiap hari serdadu bersetiwel, jas tutup dan bertopi bambu itu keluar masuk kampung di kanan kiri tangsi.

Pada hari-hari biasa jalan kehidupan di kota yang terkenal dengan nama "vacantie-oord" itu biasa. Artinya orang bekerja untuk beristirahat pada waktu sore di rumahnya masing-masing. Jadi jalan-jalan kota yang memang sudah sepi tetap sama keadaannya.

Baca juga: Foto-foto Prosesi Ibadah Haji Zaman 'Doeloe', Serba Sederhana dan Tak Perlu Berdesak-desakan

Lain lagi jika Minggu siang tiba. Artinya pada musim panas. Sebab di kala itu pada musim hujan Salatiga merupakan "kota yang selalu diguyur air".

Daerah elite yang berada disekitar rumah tuan Asisten residen sekitar jam tiga siang suasananya mulai dimasukkan. Caranya dengan mengirimkan beberapa mobil air ke daerah tersebut, ialah sebuah mobil tangki seperti mobil tangki minyak sekarang.

Akan tetapi bagian belakang sebelah bawah terdapat pipa panjang dengan lobang banyak. Jika krannya dibuka air didalam tangki itu dialirkan keluar seperti gembor besar. Jadi sambil berjalan perlahan-lahan mobil itu bisa menyiram seluruh jalan daerah tersebut.

Sementara itu tuan sekaout yang menjadi momok anak-anak kampung mulai berpatroli. Maklum dalam keadaan demikian ada saja anak yang mempergunakan kesempatan ini untuk mandi di bawah pancuran gembor raksasa itu.

Meskipun seorang diri dan hanya bersenjatakan "pentung" akan tetapi tuan sekaout tampangnya menyeramkan sekali. Biar sanya ia selalu berkumis. Pernah aku mengenal seorang sekaout dengan kumis sepanjang "Dari telinga ke telinga".

Jika semua jalan sudah bersih dan matahari mulai sejuk berbondong-bondong orang mulai menuju ke lapangan luas di sebelah timur rumah tuan Asisten Residen. Lapangan itu terdiri dari dua bagian. Pertama terdiri dari kebun bunga dengan pancuran dan bangku duduknya.

Sedangkan yang lain berupa lapangan rumput. Di lapangan ini "sinyo" dan "noni" beserta babunya bermain-main sedangkan di kebun bunga "mevrouw" dan "meneer' sambil bergandengan menikmati suasana hari Minggu sore.

Kadang-kadang mereka menyorong sebuah kereta bayi. Akan tetapi puncak keramaian baru terjadi jika musik kompeni yang bermain di bawah "koepel" (Kubah) di tengah lapangan rumput itu mulai memperdengarkan lagunya. Sebab anak-anak mulai menari dan jika lagunya dikenal merekapun ikut menyanyi.

Baca juga: Ilmu Maling Tempo Doeloe: Hilangkan Jejak dengan Buang Hajat di Rumah Korban

Meskipun yang ada di situ para sinyo dan noni akan tetapi anak pribumipun banyak juga yang menonton. Hanya tempatnya tidak di tengah lapangan melainkan di pinggir dengan kaki polos.

Andaikata ada satu dan orang anak pribumi (dengan sepatu dan membawa emban) berada di antara sinyo dan noni itu dengan sendirinya ia termasuk anak seorang priyayi gede.

Hawa sejuk, udara nyaman, bunga semarak ditambah suara musik yang merdu membuat hari Minggu siang di kota kecil itu betul-betul tidak mudah untuk dilupakan.

Yang paling menderita tentunya para pemain musik. Dengan setiwel dan jas tutup mereka seolah-olah dibalut selimut tebal. Itulah sebabnya belum berselang lama jas itu sudah basah semua.

Makin sore suasana makin menarik. Nyonya Belanda dengan longdress mode tempo doeloe serta meneer yang berpakaian "tropis" ringan bertambah banyak. Malah suatu waktu kebun bunga itu betul-betul penuh. Seolah-olah seluruh penduduk Belanda di kota kecil itu berada di sana.

Akan tetapi jika musik mulai memainkan "Wiens Neerlands bloed door de aderen vioe it", ini tandanya pertunjukan segera akan diakhiri. Perlahan-lahan orang mulai meninggalkan lapangan.

Dimulai dengan anak-anak Belanda dengan babunya dahulu kemudian ditutup oleh nyonya dan tuan Belanda di kebun bunga. Yang paling akhir pergi adalah anak pribumi. Mereka baru meninggalkan lapangan jika para pemain musik sudah tidak kelihatan.

Sekali dalam sebulan terjadi puncak dari segala puncak. Jika tidak salah hari itu jatuh pada Minggu ke empat. Sebab pada waktu itu diadakan apa yang dinamakan "taptoe".

Baca juga: Ilmu Maling Tempo Doeloe: Bekalnya Mulai dari Primbon Hingga Kalamuding alias Ilmu Setan

Artinya jika biasanya pada waktu datang dan pulang barisan musik selalu di jemput dan di antar dengan kendaraan maka pada sore itu mereka harus berjalan pulang sambil bermain.

Disamping itu jumlah anggotanya diperbanyak menjadi 3 kali lipat. Karena sementara itu sudah malam maka di kanan kiri setiap pemain berjalan seorang serdadu yang membawa obor. Romantis sekali. Jadi sambil "trejin, trejin" barisan itu menuju tangsi.

Kini anak pribumilah yang bersuka ria. Jika pada tempat permulaan hanya diikuti oleh anak-anak yang ada disana akan tetapi sepanjang jalan ekor itu makin lama makin panjang. Dan ekor tersebut ikut hidup sesuai dengan irama musik yang dibawakan.

Baru sesuatunya menjadi tenang jika barisan memasuki gapura tangsi. Dengan itu pula diakhiri hari Minggu siang di kota Kompeni Salatiga.

(Ditulis oleh A. Soeroto. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari Oktober 1974)

Baca juga:Makanan Tradisional di Kampoeng Tempoe Doeloe

Artikel Terkait