Intisari-Online.com - Bahkan, cara perhitungan yang paling sederhana pun sudah cukup rumit bagi orang awam.
Misalnya saja metode pujangga sanga yang biasa dipakai oleh para mating tengahan.
Jika seorang pencuri merencanakan melakukan pencurian pada suatu hari tertentu, maka dengan metode pujangga sanga ia bisa menentukan desa mana yang paling menguntungkan sebagai tempat pelaksanaan rencananya itu.
Sebagaimana diketahui, selain mengenal hari-hari menurut kalender biasa, yakni hari-hari Senin, Selasa dan seterusnya, orang Jawa juga mengenal hari-hari menurut kalender Jawa, yang disebut hari-hari pasaran, yakni Kliwon, Legi, Pahing, Pon dan Wage.
Menurut primbon, masing-masing hari memiliki nilai tertentu: Senin nilainya 4, Selasa 3, Rabu 7, Kamis 8, Jumat 6, Sabtu 9 dan Minggu 5.
Hari-hari pasaran juga mempunyai nilai tersendiri: Kliwon 8, Legi 5, Pahing 9, Pon 7 dan Wage 4.
Di samping angka-angka nilai dari hari, metode peramalan pujangga sanga juga didasarkan atas nomor urut letak huruf-huruf dalam abjad Jawa, abjad ha na ca ra ka.
Huruf ha mempunyai nomor urut 1, na 2, ca 3 dan seterusnya.
Desa yang harus didatangi si pencuri dapat diketahui dengan cara menambahkan nilai-nilai dari hari yang telah ditentukan dengan nomor urut dari huruf pertama nama desa yang sekiranya cocok untuk dirampok.
Angka hasil penjumlahan ini harus dapat dibagi tiga, atau bersisa dua jika dibagi tiga.
Misalnya saja, aksi pencurian direncanakan dilakukan pada hari Senin-Kliwon — yang mungkin, menurut perhitungan lain, merupakan hari keberuntungan si pencuri — maka ia harus menambahkan kedua nilai yang dimiliki hari tersebut, yakni 4 (Senin) plus 8 (Kliwon).
Angka hasil penjumlahan, 12, lalu ditambah lagi dengan nomor urut huruf pertama nama suatu desa, misalnya 2 (dari Desa Nambangan yang huruf pertamanya, na, bernomor urut 2) atau 3 dari desa yang bernama Cacaban yang huruf awalnya, ca, mempunyai nomor urut 3).
Nilai 12, jika ditambah 2 lalu dibagi 3 maka hasilnya akan bersisa 2 (karena 14 tidak habis dibagi 3); dan jika ditambah 3 lalu dibagi 3, maka hasilnya tidak bersisa (karena angka 15 habis dibagi 3).
Kedua hasil perhitungan ini sesuai dengan persyaratan yang harus dipenuhi.
Si pencuri tidak akan memilih nama desa yang huruf pertamanya ha, misalnya, karena huruf dengan nomor urut 1 ini jika ditambah 12 dan dibagi tiga hasilnya akan bersisa 1.
Ini artinya mencuri di desa yang bersangkutan akan membawa sial.
Di kalangan pencuri, hasil perhitungan yang bersisa 1 disebut pacak, yang artinya pagar.
Maksudnya, danyang penjaga desa orang Jawa percaya setiap desa memiliki danyang pelindung sedang berada di posnya dan menjalankan tugasnya bersiskamling.
Karena itu, usaha kejahatan apa pun yang akan dilakukan pada penduduknya, tidak akan berhasil.
Kalau hasil pembagian bersisa 2, si maling masih boleh berpikir-pikir untuk melaksanakan niatnya.
Soalnya, sisa dua punya arti yang disebut danyang pengantenan, yang maksudnya makhluk halus penjaga desa sedang berkasih-kasihan dengan pacar-pacarnya — kaum danyang rupanya gemar bercintaan dengan beberapa kekasih sekaligus —.
Pencurian yang dilakukan pada saat seperti ini masih mungkin bisa berhasil, karena danyang yang sedang asyik berpacaran tentunya tidak menjaga desanya dengan baik.
Berhasil atau tidaknya aksi pencurian tergantung dari banyak-sedikitnya perhatian yang diberikan sang danyang pada para kekasihnya yang datang menggoda.
Hasil perhitungan yang paling baik adalah jika angka hasil penjumlahan habis dibagi 3.
Hasil seperti ini memberi keyakinan pada si pencuri bahwa rencananya pasti akan berhasil, karena pada saat ia beraksi nanti, desa yang bersangkutan akan sedang ditinggalkan oleh danyang penjaganya.
Keadaan seperti ini disebut tinggal danyang.
(Artikel ini ditulis oleh Muljawan Karim, dimuat di majalah Intisari edisi Mei 1987 dengan judul asli Ilmu Maling Tempo Doeloe)