Advertorial
Intisari-Online.com - Koalisi masyarakat sipil mengkritik cara pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Koalisi yang terdiri atas sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Migrant Care, Lokataru, Kontras dan YLBHI ini mendesak agar pemerintah memperbaiki cara dalam menangani wabah virus corona.
Menurut Koordinator Kontras Yati Andriyani, cara pemerintah memberikan informasi terkait keberadaan penyakit ini jauh dari memenuhi hak-hak konstitusional masyarakat.
"Komunikasi publik pemerintah memang bisa mencegah kepanikan, tapi tidak bisa memberikan keamanan dan perlindungan atas ancaman yang nyata," kata Yati kepada Kompas.com, Jumat (13/3/2020).
Menurut dia, pemerintah justru terlihat gagap dalam menghadapi ancaman virus yang berasal dari Kota Wuhan, China ini.
Pertama, ketika sejumlah pihak memperingatkan Indonesia ketika virus ini masih menjadi ancaman, pemerintah justru cenderung meremehkan imbauan itu dan menyiratkan seakan-akan orang Indonesia kebal terhadap serangan virus ini.
"Prediksi dari Universitas Harvard yang menyebutkan bahwa virus itu sudah sampai di Indonesia, ditolak mentah-mentah, dan bukannya dijadikan landasan untuk mempersiapkan kebijakan kesehatan publik yang kuat dan efektif untuk menghadapi virus ini," kata Yati.
"Sikap meremehkan dan cenderung anti-sains ini sedikit banyak telah membuat pemerintah tergagap manakala virus ini benar-benar datang," tutur dia.
Tindakan ini bertolak belakang dengan sejumlah pemimpin negara tetangga yang justru mempersiapkan diri guna menghadapi ancaman yang mungkin terjadi.
Kedua, kegagapan terlihat dari sejumlah kesalahan yang dilakukan baik oleh pejabat pemerintah pusat, maupun daerah.
Koordinasi yang lemah antara pemerintah pusat dan daerah, miskomunikasi antara Kementerian Kesehatan dengan instansi lainnya nampak dalam bagaimana kasus pertama diumumkan, termasuk pelanggaran hak privasi pasien.
"Nampak jelas bahwa pemerintah cenderung mendahulukan citra ketimbang kemaslahatan pasien dan keselamatan publik yang lebih luas," ujarnya.
Baca Juga: Masih Jadi Misteri, Orang-orang Zaman Romawi Mengubur Mayat dalam Keadaan Kaki Terpotong
Ketiga, ketika ancaman ini kian serius, pemerintah justru lebih sibuk memberikan insentif kepada industri pariwisata termasuk rencana membayar influencer, dan bukan mengucurkan anggaran untuk fasilitas kesehatan.
Padahal, pada saat yang sama negara lain justru mengambil langkah memperketat akses masuk guna meminimalisasi penyebaran virus.
Keempat, pemerintah justru terkesan membatasi ancaman dan perkembangan penyebaran Covid-19 di Indonesia.
Pemerintah justru lebih sibuk menyerukan ancaman hoaks.
Namun, pada saat yang sama tidak disertai dengan upaya untuk membangun komunikasi dan informasi publik yang terpercaya dan komprehensif.
"Ini terlihat dari minimnya informasi mengenai daampak virus ini terhadap pasien dan lokasi-lokasi penularannya.
Kebijakan ini sangat bertolak belakang dengan praktik di negara lain yang sama-sama sedang menanggulangi COVID-19," kata dia.
"Pemerintah Korea Selatan misalnya, secara berkala menyiarkan bukan hanya kasus tetapi juga lokasi dari ditemukannya kasus.
Informasi yang terang, disertasi dengan kepekaan untuk mencegah kepanikan dan stigma terbukti sangat bermanfaat untuk membangun kewaspadaan dan mekanisme kehati-hatian publik," imbuh Yati.
Ketertutupan informasi, kata dia, justru akan memberikan sinyal dan arah yang keliru untuk publik, menurunkan kewaspadaan yang bisa berakibat pada perluasan penularan wabah.
Untuk itu, koalisi meminta agar pemerintah memperbaiki mekanisme respon pandemi ini. Ada delapan langkah yang bisa dilakukan, yaitu:
1. Menyediakan informasi publik yang benar, lengkap dan berkala menyangkut penyebaran dan risiko penularan.
2. Respons darurat yang cepat, kompeten dan dapat dijangkau masyarakat yang merasa sakit.
3. Menjamin mutu manajemen penelusuran kasus yang teliti dan transparan. Identifikasi klaster-klaster yang positif, lacak orang-orang yang berpotensi tertular atau jadi carrier. Bila perlu lakukan upaya ‘partial isolation’.
4. Pemantauan yang cermat.
5. Kebijakan kesehatan publik yang rasional, dapat dijangkau dan tepat.
6. Uji laboratorium yang luas, tidak boleh dimonopoli Kemenkes, dengan juga memperbanyak testing. Mendukung upaya pemerintah daerah melakukan uji laboratorium untuk pengujian pasien.
7. Manajemen kasus yang baik untuk menghindari stigma terhadap pasien.
8. Upaya pencegahan dan pengendalian infeksi yang cermat, terpercaya. Manajemen keramaian publik termasuk melarang acara publik.
"Respon pemerintah yang cepat, akurat dan bertanggung jawab justru akan berdampak positif karena akan memulihkan kepercayaan publik dan meningkatkan kesiapan warga," pungkasnya.
Selain itu, pemerintah perlu membenahi manajemen komunikasi dengan melarang pejabat publik yang tidak berwenang untuk berbicara. Hak privasi warga, sebut dia, juga harus dijaga.
Pengungkapan kasus, informasi tentang penularan bisa dilakukan tanpa harus membuka identitas pasien.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu meminimalisasi stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap pasien Covid-19 yang sembuh.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemerintah Didesak Lebih Terbuka soal Informasi Wabah Virus Corona"