Advertorial

Setelah Kibarkan Merah Putih di Bumi Papua, PGT AURI Ditawari Pisang Goreng Penduduk Lokal tapi Belanda Lebih Dulu Menyuguhi Roket

Moh Habib Asyhad

Editor

Di bawah tembakan dan hujan roket yang dilancarkan Neptune, semua personel PGT terus bertempur sambil menghindar menuju kelebatan hutan belantara.
Di bawah tembakan dan hujan roket yang dilancarkan Neptune, semua personel PGT terus bertempur sambil menghindar menuju kelebatan hutan belantara.

Intisari-Online.com -Pada 12 Mei 1962 personel Pasukan Gerak Tjepat (PGT) Angkatan Udara yang dipimpin Letnan Udara Muda (LMU) I Suhadi dan berada di Kampung Wersar sudah berjumlah 40 orang.

Melihat pasukan yang berkumpul cukup besar dan bersenjata lengkap, euforia kemenangan pun melanda jiwa setiap personel PGT.

Karena belum ada tanda-tanda kehadiran pasukan Belanda, personel PGT berani berkumpul di tempat terbuka di Kampung Wersar.

Tiba-tiba Sersan Muda Udara MU Mengko mengeluarkan bendera Merah Putih dan menancapkannya di tanah sambil disaksikan anggota PGT AU lainnya.

Bendera Merah Putih pun berkibar dan menimbulkan rasa bangga bagi semua personel PGT AU yang berkumpul.

(Baca juga:Maunya Serbu Pasukan Belanda dari Kampung Terdekat, Pasukan Gerak Cepat Tjepat AURI Justru Mendarat di Atap Markas Musuh)

Sadar bahwa aksi pengibaran bendera Merah Putih akan mengundang hadirnya pasukan Belanda, semua personel PGT AU lalu bergegas menuju ketinggian dan mencari perlindungan dari serangan pasukan Belanda.

Di tempatnya berlindung para personel PGT AU dikejutkan oleh hadirnya penduduk yang berpakaian rapi dan meminta personel PGT jangan pergi dulu karena ibunya akan mengirimkan pisang goreng.

Sehari sebelumnya orang berpakaian rapi itu memang sudah menemui para personel PGT sambil memberikan pisang goreng dan tidak dicurigai.

Mendapat permintaan yang agak memaksa, mereka menjadi curiga bahwa penduduk itu adalah mata-mata. Suhadi pun memerintahkan pasukan untuk meninggalkan tempat.

Tapi baru saja berjalan beberapa langkah datang serangan udara Belanda yang dilancarkan oleh pesawat tempur jenis Neptune.

Di bawah tembakan dan hujan roket yang dilancarkan Neptune, semua personel PGT terus bertempur sambil menghindar menuju kelebatan hutan belantara.

Beruntung upaya menghindar itu berhasil dan tak ada satu pun anggota PGT yang cedera atau gugur.

(Baca juga:Hutomo ‘Tommy’ Mandala, Lahir saat Soeharto Jadi Panglima Mandala dalam Operasi Pembebasan Irian Barat)

Meskipun sudah berlindung di dalam hutan, selama tiga hari berturut-turut, pasukan PGT terus mendapat gempuran dari udara dan serangan pasukan Belanda dari darat.

Dua jenis pesawat tempur Belanda, Neptune dan Firefly terus menembakkan amunisinya tanpa bisa dibalas oleh personel PGT.

Akibatnya formasi pasukan PGT menjadi tercerai-berai tapi kondisi pasukan masih utuh.

Untuk menghindarkan diri dari serangan gencar itu semua pasukan berada pada posisi yang tersebar dan membentuk kelompok-kelompok kecil.

Salah satu kelompok yang berhasil lolos adalah kelompok Prajurit Udara (PU) I Gunarso yang terdiri dari 4 personel PGT.

Dalam perjalanan mereka masih sempat menyaksikan kibaran bendera Merah Putih yang sebelumnya dipasang Mengko dan rekan-rekannya.

Ketika sedang asyik mengamati bendera yang berkibar, tiba-tiba pesawat tempur Belanda datang dan langsung menjatuhkan roket serta bom.

Tapi bom dan roket gagal menghancurkan kelompok Gunarso yang terus bergerak sambil melancarkan perang gerilya.

Karena kehabisan bekal makanan, mereka tertarik pada kaleng makanan yang tergeletak di tempat pengeboran minyak.

(Baca juga:TNI Angkatan Udara Punya 24 Jet Tempur F-16 C/D, Pengalaman Pahit F-16 yang Pernah Diembargo AS pun Langsung Sirna)

Ketika pasukan bermaksud mengambilnya, kaleng makanan itu ternyata merupakan taktik jebakan Belanda.

Tembakan gencar pun menyalak dan menyebabkan kelompok Gunarso kocar-kacir.

Salah satu anggotanya, PUI Kardi terluka dan kemudian tertangkap pasukan Belanda.

Anggota lainnya yang makin terdesak seperti Kopral Udara (KU) II Ngatijan, KU II Hadi Suprapto, KU II Kadar dan KU II Basri juga menyusul tertangkap.

Personel PGT AU yang diterjunkan ke wilayah Irian Barat memang bukan ditujukan untuk bertempur secara frontal melawan pasukan Belanda yang berjumlah lebih besar dan bersenjata lengkap.

Sebagai pasukan infiltran mereka bertempur secara gerilya dan jika bertemu musuh dalam jumlah besar secara otomatis mereka akan mengundurkan diri sambil menyusun kekuatan.

Pada 24 Mei 1962 saat sekelompok pasukan PGT AU sedang beristirahat setelah mengadakan perjalanan mundur selama dua hari mereka tiba-tiba disergap pesawat Neptune Belanda.

(Baca juga:Tembaki Istana Merdeka untuk Bunuh Bung Karno, Pilot AURI Ini Divonis Hukuman Mati tapi Bebas di Era Soeharto)

Tak ada pilihan lagi bagi pasukan PGT AU selain berusaha menghindar masuk hutan sambil menembakkan senapan G-3 mereka.

Sebagai pimpinan kelompok LMU Suhadi menyadari bahwa anak buahnya perlu istirahat di tempat yang dianggapnya aman.

Setelah menemukan tempat untuk istirahat, meskipun sejumlah anak buahnya menyarankan untuk terus berjalan, LMU Suhadi tetap memberi perintah istirahat.

Rupanya jejak perjalanan mundur PGT berhasil dicium musuh dan menjelang sore hari mereka diserang lagi oleh pasukan marinir Belanda dalam jarak dekat.

Pertempuran sengit pun tak terhindarkan dan menimbulkan korban dari kedua pihak.

LMU Suhadi yang dikenali pasukan Belanda sebagai komandan pasukan berhasil ditembak dan mengalami luka parah.

Ketika tersungkur ke tanah akibat tembakan peluru Belanda di kepalanya, dua anak buahnya PU I Lili Sumarli dan PU I Sunarto berniat menolong.

Tapi sniper Belanda sekali lagi menembak LMU I Suhadi tepat di kepala dan mengakibatkan komandan yang tangguh itu gugur.

Menyadari musuh demikian kuat, setelah menguburkan jenazah LMU I Suhadi dan sejumlah PGT lainnya yang gugur, sisa-sisa personel PGT memecah diri menjadi kelompok kecil dan lari masuk ke hutan.

(Baca juga:Penempur Malam, Saat Pesawat Tempur Harus Melawan ‘Takdir’ Sulitnya Terbangkan Pesawat di Malam Hari)

Kelompok kecil pasukan PGT itu terdiri dari kelompok PU I Roedjito dan beranggotakan KU I Suprapto, PU I Misno, PU I Kosim, serta PU I M.Teguh yang terpaksa berjalan terpincang-pincang karena kakinya tertembak.

Kelompok lainnya lagi terdiri dari SMU Mengko beserta 8 anggota ditambah satu orang lagi, yakni PU I Hartono dari kelompok lain yang telah terpecah.

Kelompok-kelompok kecil pasukan itu kemudian melanjutkan perang gerilyanya sambil berusaha menghindari pertemuan dengan pasukan Belanda.

Artikel Terkait