Advertorial

Inilah Taipan Bertangan Dingin di Balik Serangan Drone yang Tewaskan Jenderal Iran Soleimani, CIA Punya Peran Besar di Balik Kesuksesannya

Ade S

Editor

Dialah Neal Blue, pria pendiam yang membuat drone MQ-9 Reaper, pembunuh Jenderal Iran Qassem Soleimani.
Dialah Neal Blue, pria pendiam yang membuat drone MQ-9 Reaper, pembunuh Jenderal Iran Qassem Soleimani.

Intisari-Online.com -TewasnyaMayor Jenderal Iran Qassem Soleimani dalam serangandrone MQ-9 Reaper sempat membuat hubungan Iran-AS menjadi semakin buruk.

Rakyat Iran bahkan sampai mengibarkan bendera merah tanda mereka sudah siap berperang melawan AS, untuk menuntut balas.

Serangandrone MQ-9 Reaper sendiri juga turut menewaskanpemimpin milisi Irak Abu Mahdi al-Muhandis.

Semuanya terhenyak mengetahui bahwa sebuah pesawat tanpa awak seberat 2,5 ton berhasil meluluhlantakan konvoi rombongan pejabat militer yang berada diBandara Internasional Baghdad.

Baca Juga: Berondong Tubuh Jenderal Iran Soleimani hingga Tewas, Keganasan Drone MQ-9 Reaper Milik AS Bikin Target Tak Bisa Berkutik

Pesawat senilai US$ 16 juta yang diterbangkan melalui setengah dunia ini benar-benar menjadi pembunuh mematikan, sekaligus akurat.

Dengan latar belakang ini, siapakah bapak de facto dari revolusi drone?

Mengutip Forbes, dia adalah anggota baru The Forbes 400 — Neal Blue (84), seorang taipan dengan kekayaan senilaiUS$ 4,1 miliar.

Namun, besarnya cengkeraman Neal dalam teknologi drone di militer AS ini ternyata tidak terlepas dari peran besar CIA, yang justru sempat membuat Neal sendiri merasa tak percaya.

Baca Juga: Jenderal Iran Dibunuh dengan Serangan Drone, Beginilah Mengerikannya Kerja Drone Pembunuh yang Digunakan dalam Militer

Neal dikenal sebagaipimpinan dan pemilik 80% saham kontraktor pertahanan yang berbasis di San Diego, General Atomics (saudaranya, Linden, 83 tahun, memiliki 20% lainnya).

Blue pertama kali memperkenalkan Predator drone ke langit dunia sekitar 25 tahun yang lalu untuk mengawasi pasukan Serbia selama pemerintahan Clinton. Predator adalah salah satu pesawat AS pertama di Afghanistan setelah 9/11. Sejak itu, Predator telah berkembang melalui penyebaran di Irak, Pakistan, Somalia dan Yaman.

Sekarang, pesawat tanpa awak ini sudah dilengkapi dengan kamera, peralatan komunikasi, dan rudal Hellfire dari udara ke darat, yang mengawasi, melacak, dan membunuh.

Menurut Biro Investigasi Jurnalisme AS, Presiden Obama mengizinkan lebih dari 500 serangan drone. Sementara, sejauh ini Presiden Trump telah menandatangani setidaknya 259, menurut penelitian oleh think tank yang berbasis di Washington, DC, New America.

General Atomics telah menjual ratusan Predator kepada militer AS dan pemerintah lain di seluruh dunia dan menghasilkan US$ 2,1 miliar per tahun dari bisnis pesawat tanpa awaknya (total pendapatan untuk perusahaan swasta diperkirakan sekitar US$ 2,7 milyar).

Richard Whittle, penulis buku Predator: The Secret Origins of the Drone Revolution, menulis bahwa sistem itu "bisa dibilang adalah teknologi militer baru yang paling penting sejak rudal balistik antarbenua senjata nuklir."

Blue bersaudara tumbuh dari salah satu keluarga terkaya di Denver setelah masa Depresi Hebat. Bisnis Blue bersaudara adalah real estat, dan ibu mereka, Virginia, dan ayah mereka, James, bekerja di perusahaan keluarga. Selama Perang Dunia II, James Blue direkrut menjadi militer sementara Virginia Blue bergabung dengan Palang Merah.

Pada tahun 1967, Virginia mencalonkan diri sebagai Republikan untuk bendahara negara bagian dan menjadi wanita pertama yang terpilih untuk posisi seluruh negara bagian di Colorado. (Dia meninggal pada tahun 1970 di tengah-tengah kampanye pemilihannya; negara mendedikasikan jendela kaca patri di gedung Capitol untuk mengenangnya).

Baca Juga: Iran Berjanji Balas AS Atas Kematian Jenderal Qasem, AS Perlu Waspada Sebab Kekuatan Militer Iran Tak Bisa Diragukan, Punya Drone yang Pernah Tembak Jatuh Pesawat Pengintai AS

Singkat cerita, pada tahun 1986, Blue bersaudara mendapatkan kesempatan unik. Chevron baru-baru ini mengakuisisi Gulf Oil dan sekarang ingin melepaskan sejumlah anak perusahaan, salah satunya General Atomics.

Didirikan pada tahun 1955 oleh fisikawan atom yang telah bekerja di Proyek Manhattan, GA sebagian besar merupakan perusahaan riset yang didanai pemerintah yang melakukan beberapa percobaan nuklir paling canggih di dunia.

Daya pikat awal dari General Atomics bagi Blue bersaudara adalah mendapatkan harga bagus di real estatnya, yakni seluas 424 hektar tanah utama tepat di luar San Diego yang berkembang pesat.

Ketika bernegosiasi dengan Chevron pada tahun 1986, Neal Blue menjanjikan 20% dari perusahaan kepada sekelompok eksekutif, menurut mantan wakil presiden senior David Overskei, tetapi mereka mengingkari. Secara keseluruhan, Blue bersaudara membayar US$ 60 juta pada transaksi ini.

Tetapi penerbangan ada dalam darah Neal Blue dan dia langsung memikirkan strategi untuk menata kembali perusahaan.

"Neal berbicara kepada saya tentang drone dan jenis teknologi lainnya setidaknya dua atau tiga kali seminggu," kata Tom Dillon, yang merupakan wakil presiden senior program pertahanan dari tahun 1984 hingga 1988.

Dari situlah "Project Birdie" dilahirkan: GA mulai membuat drone yang unik dan hemat biaya yang tidak memerlukan manusia di dalamnya karena sistem GPS bawaan.

Pada awalnya, cukup sulit menemukan pelanggan untuk drone GA yang belum diuji. Ketika CIA akhirnya ingin membeli sebuah drone dari General Atomics selama Perang Balkan pada tahun 1993, Linden Blue tidak dapat mempercayai telinganya, menurut Frank Strickland, seorang direktur pelaksana di Deloitte yang bertugas di CIA. Pesawat pengintai GA yang murah tampil mengesankan.

Baca Juga: Demi Jokowi-Maruf Amin, Hari Ini Rudal SAM QW-3 Diaktifkan di Ruang Udara Jakarta Untuk Tembak Drone yang Nekat Terbang

Pada tahun 1994, Angkatan Laut AS memberi perusahaan kontrak senilai US$ 31,7 juta untuk membangun pesawat tanpa awak yang lebih maju, yang akhirnya menjadi Predator.

Blue bersaudara dan GA selanjutnya mengalami dekade yang menakjubkan. Dalam 25 tahun sejak penerbangan perdana Predator 1994, pesaing mereka telah mengejar banyak ketinggalan.

Ada lebih banyak pemain di pasar daripada sebelumnya, dan total penjualan gabungan mereka diharapkan meningkat dari US$ 4,9 miliar pada 2018 menjadi US$ 10,7 miliar pada 2028.

Pada 2014, putra Neal, Linden P. Blue, bertanggung jawab atas bisnis drone perusahaan, dan ia kemungkinan akan menjadi CEO GA berikutnya.

"Linden jelas berusaha untuk membuat perubahan," kata seorang karyawan GA saat ini yang mengelola proyek dalam divisi Sistem Penerbangan. "Dia sedang berusaha membawa perusahaan ke standar perusahaan besar."

Menurut manajer, ada proses, database, dan sistem baru yang akan dilakukan untuk merampingkan produksi GA. Langkah yang baik, tetapi itu juga berarti perusahaan tidak gesit dan tak kenal takut seperti dulu.

Artikel ini sudah tayang di Kontan.co.id dengan judul "Inilah miliarder di balik drone Predator yang menewaskan Jenderal Iran Soleimani".

Baca Juga: Suku Pedalaman Amazon Kini Gunakan Smartphone, Bahkan Ditawari Drone dan GPS, Tapi Tujuannya Justru untuk Melawan 'Modernisasi'

Artikel Terkait