Advertorial
Intisari-online.com -Kamis, 26/12/2019, adalah 15 tahun semenjak tragedi terbesar dalam hidup Dery Setyawan.
15 tahun yang lalu, keluarganya direnggut darinya beserta teman-temannya, belum lagi ketika rumahnya terhancurkan oleh tsunami Aceh 2004.
Dery dan rekan lain dari Lampuuk, wilayah luar Banda Aceh, melihat kota mereka hampir hilang saat ombak setinggi 30 meter menghancurkan pantai mereka.
Bahkan pohon kelapa pun tercabut serta merta pada hari itu.
Dari total 7000 penghuni Lampuuk, hanya 300 orang yang selamat.
Total seluruh keluarga Dery, meliputi ibu, kedua neneknya, dan adik bayinya meninggal dunia.
Dia mengingat dengan jelas, saat air menabrak rumahnya dan menariknya 200 meter jauhnya sampai dia menabrak puing-puing dan menggantungkan hidupnya di situ.
Saat ini, Lampuuk telah dibangun kembali dengan tanda evakuasi tsunami di mana-mana.
Populasi penduduknya telah tumbuh lagi menjadi 2000 penduduk, masih jauh dari jumlah sebelum tragedi tersebut terjadi.
Namun Dery bertekad untuk mengubah pantai tragedi tersebut menjadi tempat tinggal yang ramai lagi.
Ayah berumur 35 tahun tersebut mengatakan, dilansir dari scmp.com;
"Air adalah bagian dari kehidupan kami di sini. Ini adalah tempat kami tinggal, berinteraksi dengan keluarga dan tetangga dan bekerja untuk hidup.
Baca Juga: Bukan Hal Mustahil! Anda Berusia 40 Tahun Tapi Ingin Turunkan Berat Badan? Simak 7 Tips Berikut Ini
"Ombak dari pantai itu adalah teman kami, sedangkan yang membunuh teman kami adalah ombak yang berasal dari lautan yang dalam.
Itulah yang kubicarakan untuk meyakinkan diriku agar masuk lagi ke dalam air lagi (setelah bencana)."
Tsunami Aceh adalah salah satu bencana alam paling mematikan sepanjang sejarah umat manusia.
Energi yang terlepaskan setara dengan 23.000 bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima saat perang dunia kedua.
Dikabarkan, masih banyak mayat yang 'terkubur' dengan tidak sengaja, dan baru ditemukan tahun lalu.
Dery sendiri, yang merupakan seorang peselancar, memilih melakukan ini setelah 15 tahun tsunami menghantam Aceh.
Dia membawa papan selancarnya, dan mulai berselancar di lepas pantai Aceh.
Hal tersebut, dilansir dari Japan Times, bukan hanya tantangan fisik baginya.
Justru, hal itu lebih condong menjadi tantangan emosional.
"Berselancar adalah obat terbaikku untuk trauma tsunami.
"Saat aku berada di tengah ombak, ketakutanku sirna dan aku dapat menerima masa lalu dengan lapang dada dan berdamai dengannya."
Rupanya tidak hanya Dery, peselancar lain dari Lampuuk pun merasakan hal yang sama dengannya.
Berselancar telah menjadi cara mereka memulai kehidupan yang baru, melepas trauma tragis mereka.
Ia mengaku, setelah kejadian tersebut, para penduduk yang selamat takut dengan air.
"Kami hanya mengecek gelombang untuk cuaca dari level air yang turun," ujarnya, mereferensi cara mengecek tanda tsunami.
Namun setelah setahun pasca bencana, Dery memutuskan untuk menghadapi ketakutannya.
Ia kembali masuk ke dalam air.
Kini, Dery justru menjadi peselancar profesional.
Ia telah bertanding dalam kompetisi domestik dan internasional.
Bahkan, dia menjadi panitia penyelenggara Kejuaraan Selancar Aceh.
Prestasi tersebut baru dapat ia lakukan setelah menghadapi ketakutannya akan traumanya.
Artikel ini merupakan artikel saduran dari artikel berbahasa Inggris. Baca artikel aslinya di sini dan di sini