Intisari-Online.com - Everyone is an athlete. The only difference is that some of us are in training, and some are not.
Bisa jadi pernyataan Dr. George Sheehan, atlet senior dan penulis buku terlaris versi New York Times “Running & Being: The Total Experience,” itu bisa menjelaskan mengapa beberapa teman yang mulai menekuni lari terkena beberapa cidera. Mulai dari dengkul, tulang kering, sampai kram, dengan istilah yang bikin awam mengerutkan dahi. Plantar fascilitis, shin splint, ITBS, dan lain sebagainya.
Lari memang sepertinya sudah taken for granted. Kita lahir. Lalu belajar merangkak. Bisa berjalan. Lalu berlari-lari. Alamiah. Namun, sama seperti pelajaran Bahasa Indonesia, meski sehari-hari kita menggunakan Bahasa Indonesia, tak serta merta nilai di ujian kita bagus. Ada dari kita yang nilainya jelek. Dalam dunia lari yang kini makin digemari itu, nilai jelek bisa disepadankan dengan cedera.
Tak jarang cedera itu justru menghentikan aktivitas lari seperti yang dialami seorang teman. Niat awal ingin hidup sehat dengan mengecilkan lingkar perut, ternyata malah terkena musibah. Dengkulnya oblag dan harus menjalani operasi serta cuti lari beberapa bulan.
Hal itu melahirkan keresahan bagi Rinaldi Usman (50). Baginya, kesehatan (health) itu seperti kekayaan (wealth). Harus diatur sedemikian rupa sehingga bisa berkembang ke arah yang lebih baik. Dalam hal ini semakin menambah kekayaan kita.
“Jadi, kekayaan diatur. Mana yang buat beli tanah, mana yang beli rumah. Mana untuk menyalurkan hobi,” kata Rinaldi yang bekerja di sebuah bank swasta nasional ini.
Kesehatan pun harus diatur pula. Salah satu pengaturannya melalui olahraga. Lari menjadi pilihan karena sejatinya tidak ribet-ribet amat. Sepanjang kita fokus pada tujuan berlari: mengatur kesehatan.
Baca Juga: Dapatkan 5 Manfaat dari Olahraga Plank, Salah Satunya Langsingkan Tubuh, Mau Coba?
Proses, bukan instan
Dalam amatan Rinaldi, beberapa orang menganggap olahraga lari sebagai kegiatan yang instan. Bukankah kita sudah diberi karunia kemampuan lari sejak kecil. Namun, tidak semua bisa berlari dengan baik sejak kecil.
“(Berlari dengan baik) itu sebuah proses. Bukan sesuatu yang instan. Proses itu berupa latihan. Dengan latihan kita memperoleh hasil maksimal dari olahraga. Kedua, kita menghindari cedera,” kata Rinaldi.
Latihan yang baik tentu membutuhkan pelatih. Meski era digital memungkinkan kita memperoleh pelatih virtual, pelatih yang nyata tetaplah membantu. Lihat saja, hampir semua atlet top di berbagai bidang olahraga memiliki pelatih. Peran penting pelatih adalah cermin yang bisa berbicara. Artinya, pelatih bisa memperbaiki gerakan atau postur tubuh kita manakala kurang sesuai dengan kaidah ilmu.
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR