Memulai imunoterapi
Sebelum menjalani imunoterapi, Tetty menjalankan tes obat pada sampel sel kankernya yang diperoleh saat kuret dahulu.
Tes ini berfungsi melihat jenis obat imunoterapi yang cocok bagi pasien, misalnya atezolizumab, prembolizumab, dan lain-lain.
Dari tes itu, diperoleh hasil bahwa obat yang cocok adalah prembolizumab.
Selama menjalani imunoterapi, suka-duka mual, muntah, dan sumbatan pembuluh darah balik karena kemoterapi tak lagi dirasakan Tetty.
Memang, 2-3 hari pertama menggunakan obat, ia merasa badannya gatal.
Namun lama-kelamaan, hilang.
“Kayak enggak lagi berobat cancer,” tuturnya.
Lambat laun, cancer marker-nya turun hingga 20-an.
Setelah 2 tahun menjalani imunoterapi, pada Februari 2019, Tetty dinyatakan bersih.
Berharap pada BPJS
Dr. Ikhwan menjelaskan, saat ini, pada kanker paru, imunoterapi bisa digunakan sebagai first line, yaitu pengobatan yang pertama kali diberikan.
Tidak seperti pada jenis kanker lain, yang imunoterapinya baru boleh diterapkan pada pasien dengan stadium lanjut, dengan sel kanker yang telah menyebar atau bermetastasis.
Ia menggarisbawahi, tidak semua pasien begitu dikasih obat langsung berhasil sembuh atau menunjukkan perkembangan hasil pengobatan yang bagus.
Di samping itu, ongkos pengobatan imunoterapi juga masih belum ditanggung BPJS laiknya kemoterapi.
Ketua Umum Cancer Information and Support Group (CISC) Aryanthi Baramuli berharap, pemerintah ke depan mampun memberikan perhatian pada pasien dan penyintas kanker.
“Pasien bukan angka. Pasien adalah manusia seutuhnya, yang memiliki kesehatan sebagai hak asasinya,"tuturnya.
Terlepas dari kendala biaya, akses pengobatan imunoterapi menjadi harapan baru bagi pasien kanker.
Penulis | : | Trisna Wulandari |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR