Advertorial
Intisari–Online.com - Tetty Lidiawati Suwardhana (50 tahun) masih ingat kali pertama ia didiagnosis kanker pada Oktober 2014.
Semula, ia hanya berniat melakukan general check up. Di sana, ia menemukan ada polip di rahimnya, sehingga perlu dikuret.
Kala itu ia tak berpikir akan terkena kanker, meski ibu dan saudara perempuannya terkena kanker payudara.
Ketika tindakan dilakukan, tim medis menemukan kanker di rahimnya. Semula, diagnosanya kanker serviks.
Baca Juga: Fakta Natal, Pertama Kali Dirayakan hingga Ada yang Merayakan Bulan Januari
Ia pun diminta menjalani operasi pengangkatan indung telur dan serviks.
Setelah operasi, Tetty selalu kontrol ke dokter, sesedikit apapun keluhannya.
Kondisinya kala itu masih lemah secara mental, terlebih saudaranya meninggal satu bulan sebelumnya karena kanker.
Dokter yang biasa menangani keluarga Tetty cukup terkejut dengan info diagnosis kanker serviks pada Tetty.
Karenanya, setelah menguatkan hati, ia kembali memeriksakan diri di sebuah rumah sakit di Jakarta.
Hasilnya, masih ditemukan sel kanker di kelenjar getah beningnya.
Padahal, hasil operasinya menyatakan kondisinya bersih dari sel kanker.
Suami dan anak-anaknya berpikir, mungkin sampel pemeriksaan kanker yang terambil hanya bagian yang bersih.
Dikuatkan saran kerabatnya yang seorang dokter penyakit dalam, ia pun mencari second opinion.
Diagnosa kedua menunjukkan Tetty bukan terkena kanker serviks, melainkan uterine cancer dan endometrial cancer, stadium 3 c.
American Cancer Society menuliskan, uterine cancer menyerang sel pada otot di bagian dalam rahim, sementara kanker endometrium menyerang sel pada lapisan dalam rahim.
Penelitian Siegel, dkk tahun 2018 mencatat, di Amerika Serikat, uterine cancer merupakan kanker keempat terbesar di perempuan, dengan angka kejadian 7% dari semua jenis kanker.
Baca Juga: Bocah 2 Tahun Ini Didiagnosis Derita Kanker Ovarium Langka
Sementara itu di Indonesia, penelitian Heru Pradjatmo dan Deyna Primavita Pahlevi menemukan, kanker endometrial merupakan kanker ginekologik (kandungan) setelah serviks dan indung telur dengan prevalensi 46%.
Semula, Tetty tidak menerima diagnosa ini.
Jauh-jauh hari, ia telah menjalani vaksin HPV DNA untuk terhindar penyakit ini.
Namun setelah menerima faktor risiko kanker ini amat beragam, Tetty pun menuruti saran tim medis untuk melakukan kemoterapi.
Kemoterapi pertama direncanakan 8 kali, saat itu tumor marker-nya ada 500 lebih.
Sebelum kemoterapi ke-8, marker-nya turun hingga 200.
Ia pun lanjut melakukan radiasi, 27 di bagian luar, dan 3 di dalam.
Tiga bulan kemudian, ia kembali ke rumah sakit dan mendapati masih ada 90-an tumor marker yang tersisa.
Selama pengobatan, ia mendapati efek-efek samping seperti mual dan muntah.
Pembuluh darah baliknya pun sempat tersumbat, sehingga sebelah kakinya bengkak di paha.
Pada pengobatan ke-5, Tetty pun diberi pilihan, untuk melanjutkan kemoterapi dengan jenis obat berbeda, atau imunoterapi dengan obat percobaan.
Imunoterapi, kuatkan sistem imun lawan kanker
Suami Tetty mengajukan pembiayaan ke asuransi swasta yang dimiliki istrinya.
Beruntung, semua di-approve.
Baca Juga: Mengapa Kue Jahe yang Berbentuk Pria Selalu Ada di Hari Natal? Ternyata Begini Sejarahnya
Setelah berkonsultasi tentang efek dan efek samping imunoterapi, ia pun memantapkan diri menjalani jenis pengobatan ini.
Harapannya, sistem imunnya kembali kuat melawan kanker.
American Cancer Society menjelaskan, sistem imun tubuh berfungsi mendeteksi dan menghancurkan sel “asing” di dalam tubuh dengan mengerahkan sel T.
Sel T terdapat pada kelenjar getah bening, di mana sel T pada kelenjar getah bening bertindak sebagai filter zat-zat asing di dalam tubuh.
Imunoterapi kanker menggunakan sistem kekebalan tubuh untuk melawan kanker.
Melawan, dengan cara merangsang sistem kekebalan untuk bekerja lebih keras dan lebih pintar untuk menyerang sel kanker.
Imunoterapi juga memungkinkan sistem kekebalan tubuh untuk memberikan komponen pada sistem, seperti protein.
Dr. dr. Ikhwan Rinaldi, Sp.PD-KHOM, M.Epid, FINASIM, FACP dari RS Cipto Mangunkusumo Jakarta menjelaskan, di Indonesia, jenis imunoterapi yang saat ini ada merupakan obat yang diberikan pada pasien.
Fungsinya, mengembalikan kemampuan sistem imun untuk mengenali dan menghancurkan sel kanker.
Pada kondisi normal, tubuh memiliki sistem pertahanan untuk menghancurkan sel kanker yang disebut dengan siklus imunitas kanker.
Baca Juga: Benarkah Probiotik Membuat Imunoterapi Pengobatan Kanker Kurang Efektif?
Kanker dapat menghindari serangan sistem imun, salah satunya karena unculnya inhibitor Programmed Death Ligand 1(PD-L1) yang mencegah pembentukan sel T dan penghancuran sel T.
Dalam kondisi normal, PD-L1 berperan penting untuk mempertahankan keseimbangan imun tubuh.
PD-L1 merupakan immune checkpoint yang menjadi “rem” respons imunitas saat berikatan dengan B7.1 dan PD-1.
Namun ketika terjadi ikatan PD-L1 dan PD-1 pada tumor microenvironment, sel T tidak dapat mengenali dan membunuh sel kanker.
Ini menghentikan proses pembentukan dan aktivasi sel T di kelenjar getah bening.
Maka, diciptakanlah obat imunoterapi ini, diinfuskan ke dalam tubuh orang untuk mengikat PD-L1 supaya sel T bisa diaktifkan
Jenis imunoterapi yang kini digunakan meliputi antibodi monoklonal, Immune Checkpoint Inhibitor (PD-L1, PD-1, CTLA-4 inhibitors), vaksin kanker, dan imunoterapi nonspesifik (interleukins, interferons).
“Hal ini membedakan imunoterapi dengan kemoterapi dan terapi target, yang bekerja dengan menyerang sel yang berkembang abnormal dan molekul biologis perangsang pertumbuhan sel kanker,” tutur Ikhwan.
Baca Juga: Gunakan Imunoterapi, Pasien Kanker Payudara Stadium Akhir Ini Sembuh dengan Sel Kekebalannya Sendiri
Memulai imunoterapi
Sebelum menjalani imunoterapi, Tetty menjalankan tes obat pada sampel sel kankernya yang diperoleh saat kuret dahulu.
Tes ini berfungsi melihat jenis obat imunoterapi yang cocok bagi pasien, misalnya atezolizumab, prembolizumab, dan lain-lain.
Dari tes itu, diperoleh hasil bahwa obat yang cocok adalah prembolizumab.
Selama menjalani imunoterapi, suka-duka mual, muntah, dan sumbatan pembuluh darah balik karena kemoterapi tak lagi dirasakan Tetty.
Memang, 2-3 hari pertama menggunakan obat, ia merasa badannya gatal.
Namun lama-kelamaan, hilang.
“Kayak enggak lagi berobat cancer,” tuturnya.
Lambat laun, cancer marker-nya turun hingga 20-an.
Setelah 2 tahun menjalani imunoterapi, pada Februari 2019, Tetty dinyatakan bersih.
Berharap pada BPJS
Dr. Ikhwan menjelaskan, saat ini, pada kanker paru, imunoterapi bisa digunakan sebagai first line, yaitu pengobatan yang pertama kali diberikan.
Tidak seperti pada jenis kanker lain, yang imunoterapinya baru boleh diterapkan pada pasien dengan stadium lanjut, dengan sel kanker yang telah menyebar atau bermetastasis.
Ia menggarisbawahi, tidak semua pasien begitu dikasih obat langsung berhasil sembuh atau menunjukkan perkembangan hasil pengobatan yang bagus.
Di samping itu, ongkos pengobatan imunoterapi juga masih belum ditanggung BPJS laiknya kemoterapi.
Ketua Umum Cancer Information and Support Group (CISC) Aryanthi Baramuli berharap, pemerintah ke depan mampun memberikan perhatian pada pasien dan penyintas kanker.
“Pasien bukan angka. Pasien adalah manusia seutuhnya, yang memiliki kesehatan sebagai hak asasinya,"tuturnya.
Terlepas dari kendala biaya, akses pengobatan imunoterapi menjadi harapan baru bagi pasien kanker.