Advertorial
Intisari-Online.com - Presiden Joko Widodo telah menerima sejumlah usulan nama untuk menjadi Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK), di antaranya Artidjo Alkostar dan Albertina Ho.
Sejumlah nama yang masuk dalam usulan tersebut dari berbagai kalangan, termasuk hakim, jaksa, mantan ketua KPK, akademisi, hingga ekonom.
"Ada hakim, ada dari jaksa, ada dari mantan KPK, ada dari ekonom, ada dari akademisi, ada dari ahli pidana kira-kira itu," kata Jokowi kepada wartawan di Balikpapan, Rabu (18/12), seperti dikutip dari Kontan.
Namun, Jokowi mengatakan nama tersebut belum difinalkan.
Baca Juga: Ini yang Terjadi pada Tubuh Jika Makan Pisang Setiap Hari, Salah Satunya Cegah Kanker Usus
Dari nama-nama yang diusulkan, nantinya akan dipilih lima nama yang mengisi jabatan Dewas KPK pertama kali periode 2019-2023.
Jokowi sempat menyebut nama Artidjo Alkostar. "Pak Artidjo saya ingat tapi lupa belum diputuskan," terang Jokowi.
Dewas akan dilantik bersama dengan pimpinan KPK periode 2019-2023. Berdasarkan Undang Undang nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan UU KPK, pemilihan Dewas pertama kali dilakukan oleh presiden.
"Namanya (Dewas) nanti lah ditunggu yang jelas nama yang baik, saya memastikan," jelas Jokowi.
Artidjo pernah menjabat sebagai Ketua Kamar Pidana MA yang banyak memperberat banding yang diajukan narapidana korupsi ke MA.
Artidjo telah pensiun pada Maret 2018 lalu.
Meski telah pensiun, namaArtidjo dulunya adalah sosok hakim agung yang paling ditakuti para koruptor.
Ia adalah salah satu hakim agung yang dikenal dangat berintegritas.
Sejak tahun 2000, setelah 28 tahun menjadi advokat, Artidjo mengabdikan dirinya sebagai hakim agung di MA. Sejak saat itulah sosoknya dikenal luas.
Berbagai keputusannya kerap membuat para koruptor gentar. Bagaimana tidak, koruptor yang mengajukan kasasi ke MA justru kerap diberikan "hadiah" tambahan masa hukuman oleh Artidjo.
Oleh karena itu, banyak koruptor yang justru mencabut perkara di MA saat tahu Artidjo yang menangani perkaranya.
"Itu banyak itu (perkara yang dicabut), kadang-kadang mau kami sidangkan itu, eh paginya sudah dicabut," kata dia di Kantor ICW, Jakarta, Rabu (29/5/2018).
Selama menjadi hakim agung,Artidjo mengungkapkan, salah satu hal yang paling membuat dia jengkel adalah saat melihat reaksi para koruptor setelah ditangkap oleh KPK.
"Karena koruptor Indonesia itu kalau ditangkap itu saya paling jengkel, itu masih cengengesan di TV. Itu kan menghina rakyat Indonesia," ujar Artidjo di kantor ICW, Rabu (29/5/2018).
Artidjo menilai, para koruptor sudah tidak punya budaya malu.
Oleh karena itu, ia yakin kalau masih diberikan jalan untuk maju dalam pemilu, maka para mantan terpidana kasus korupsi akan tertawa senang.
Bagi Artidjo, pencabutan hak politik pejabat negara yang melalukan korupsi sudah tepat.
Hal itu merupakan konsekuensi yuridis karena telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat publik.
Artidjo juga menilai, salah satu upaya untuk membuat koruptor jera yakni dengan dimiskinkan.
Sepanjang menjadi hakim agung, Artidjo menyelesaikan berkas di MA sebanyak 19.708 perkara. Bila dirata-rata selama 18 tahun, Artidjo menyelesaikan 1.095 perkara setiap tahun.
Angka yang mencengangkan. Namun, pria 70 tahun kelahiran Situbondo, Jawa Timur, itu mengungkapkan resep dari capaian luar biasa itu, yakni kerja ikhlas.
Diakuinya, bekerja ikhlas bukanlah hal mudah. Namun, baginya upaya itu harus dilakukan sebab keikhlasan adalah nutrisi batin.
"Saya bisa bekerja sampai larut malam, pulang pun membawa berkas, besok sudah habis, tetapi kalau kita tidak ihklas itu energi kita menjadi racun dalam tubuh, menjadi penyakit," ucapnya.
Ia bersyukur tak banyak penyakit yang hinggap di tubuh kurusnya meski kerap bekerja ekstra keras. Sambil berseloroh, Artidjo bilang penyakit pun tahu diri tak mau hinggap di tubuhnya.
Selama 18 tahun itu pula, Artidjo mengaku tak pernah mengambil cuti sebagai hakim agung.
Ia juga selalu menolak bila diajak ke luar negeri karena akan ada implikasi besar terhadap tugasnya.
"Saya tidak pernah mau (diajak ke luar negeri), konsekuensinya nanti karena tiap hari itu ada penetapan tahanan itu seluruh Indonesia, itu tidak bisa ditinggal karena nanti bisa itu keluar demi hukum. Nanti yang disalahkan saya," kata dia sembari tertawa.
Kini pengabdiannya di MA sudah tuntas. Tak ada keinginan yang muluk-muluk.
Sosok yang dikenal sederhana itu hanya ingin kembali ke kampungnya di Situbondo dan menikmati masa pensiunnya.
"Jadi kalau pertanyaan rekan-rekan di MA 'Pak Artidjo setelah pensiun dari MA mau ke mana?', saya bilang kembali ke habitat, yakni memelihara kambing sajalah," kata dia.
Kebetulan, tutur Artidjo, ia memiliki usaha rumah makan Madura di kampungnya.
Kegiatan itulah yang akan menjadi keseharian Artidjo setelah tak lagi menjadi hakim agung.
Yoga Sukmana
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Artidjo Alkostar, 18 Tahun, 19.000 Perkara, dan Urus Kambing..."